Pembaca, di tengah badai perpecahan umat Islam hal terpenting yang perlu dipelajari adalah mengetahui jalan yang selamat. Saatnya kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya manakala terjadi perselisihan. Menjadi golongan yang selamat tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Hal tersebut membutuhkan kesungguhan dan kejujuran untuk mengamalkan dalil-dalil yang menjelaskan golongan yang selamat.
Mengaku menjadi golongan selamat mungkin bisa menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, bisa jadi ada yang menganggap tulisan ini dibuat dalam rangka merasa paling benar sendiri. Tidak, justru melalui tulisan ini, kita akan bersama-sama secara objektif mengenal siapakah golongan yang selamat. Sebab, objektif itu dengan merujuk kepada dalil. Di tengah maraknya berbagai kelompok yang mengaku paling benar, maka di saat itulah kita harus mengembalikan permasalahan kepada sumbernya. Allah berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam), serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.S. An-Nisa:59)
Pembaca, Ibnu Katsir menjelaskan tafsir firman Allah,
“Kalau saja Rabb-mu mau, Dia pasti akan menjadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi mereka sendiri senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (Q.S. Hud:118-119).
Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa perselisihan itu sudah menjadi sunnatullah. Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian. Merekalah yang selamat dari perselisihan tersebut. Yaitu, orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Siapakah mereka? Ibnu Katsir menuturkan, mereka adalah para pengikut rasul, yang berpegang teguh dengan agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
Tidak hanya menjelaskan ketetapan Allah yang terjadi di akhir zaman, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam juga memberikan jalan keluar. Beliau menjelaskan solusi di tengah menjamurnya berbagai kelompok. Yaitu dengan munculnya golongan yang selamat. Golongan yang selamat tersebut sering di sebut dengan al-firqah an najiyah atau ath thaifah al manshurah. Siapakah mereka? Apakah kita termasuk di antara mereka? Simak penjelasan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
“Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.”
Sehingga, ciri-ciri golongan yang selamat adalah orang-orang yang mengembalikan seluruh cara beragamanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam dan para Shahabat. Mereka disebut dengan salafush-shalih (para pendahulu yang shaleh). Dalam seluruh aspek kehidupannya, ia merujuk kepada para salaf. Dalam bidang akidah, keyakinan, ibadah, muamalah, akhlak, manhaj, semuanya dikembalikan kepada prinsip salaf. Abdullah bin Mas’ud menafsirkan al jama’ah,”Segala sesuatu yang mencocoki kebenaran, walaupun kamu seorang diri.”
Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah nasihat kepada para shahabat. Nasihat tersebut begitu dalam sehingga membuat mata mengucurkan airnya dan menjadikan hati bergetar. Salah seorang Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam, seolah nasihat yang akan anda sampaikan adalah nasihat perpisahan. Apa yang anda pesankan untuk kami, wahai Rasul?” Beliau pun kemudian memberi nasihat.
Kata Beliau, “saya wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, kemudian taat kepada pemimpin kalian, sekalipun pemimpin tersebut berasal dari kalangan budak Habasyah.” Setelah itu beliau menceritakan tentang kondisi akhir zaman, “Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat itulah, kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk.”
Beliau menegaskan lagi, “Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Ungkapan ini bermakna agar kita memegang kuat sunnah tersebut seperti gigi geraham. Yaitu, sebuah gigitan yang begitu kuat dan tidak terlepas. Setelah itu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti, Jauhilah amalan-amalan yang diada-adakan! Sebab, segala amalan yang diada-adakan itu merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].
Pembaca, hadits-hadits di atas sebagai tolok ukur pengakuan seseorang di atas kebenaran. Kebenaran pengakuan tersebut dibuktikan dengan sikapnya. Jikalau ia mengembalikan segala permasalahan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam (Sunnah) sesuai pemahaman shahabat, maka pengakuannya benar. Jika ternyata tidak seperti itu, maka pengakuannya hanya sekadar di lisan saja.
Satu hal yang perlu di garis bawahi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam menggandengkan sunnah beliau dengan pemahaman para Shahabat. Artinya, bias jadi sebuah kelompok berslogan Al Qur’an dan Sunnah namun ternyata sesuai pemahaman tokoh dan pendiri kelompok tersebut. Tidak cukup seseorang menguasai bahasa Arab saja untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Ia masih membutuhkan penjelasan yang dating dari orang-orang di mana Al Qur’an dan Sunnah tersebut turun, yaitu para Shahabat.
Untuk itu, bagi Anda yang mendamba kebenaran, wajib untuk belajar ilmu. Dengan ilmu tersebut akan diketahui mana yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang bukan. Menuntut ilmu bisa dengan duduk di majelis ilmu, membaca buku, bulletin, majalah, atau mendengar kajian dari CD dan Kaset. Semoga kita semua dimudahkan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama. Wallahu a’lam. [Ustadz Abu Abdillah Majdi].
Sumber: Di kutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60 vol. 05 1437H-2016M hal: 16-20.
Mengaku menjadi golongan selamat mungkin bisa menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, bisa jadi ada yang menganggap tulisan ini dibuat dalam rangka merasa paling benar sendiri. Tidak, justru melalui tulisan ini, kita akan bersama-sama secara objektif mengenal siapakah golongan yang selamat. Sebab, objektif itu dengan merujuk kepada dalil. Di tengah maraknya berbagai kelompok yang mengaku paling benar, maka di saat itulah kita harus mengembalikan permasalahan kepada sumbernya. Allah berfirman,
يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الر سول وأولى الأمرمنكم فإن تنز عتم فى شىء فردوه إلى الله والر سول
“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam), serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.S. An-Nisa:59)
Pembaca, Ibnu Katsir menjelaskan tafsir firman Allah,
ولو شاء ربك لجعل الناس أمة و حدة ولايزالون مختلفين . إلامن رحم ربك
“Kalau saja Rabb-mu mau, Dia pasti akan menjadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi mereka sendiri senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (Q.S. Hud:118-119).
Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa perselisihan itu sudah menjadi sunnatullah. Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian. Merekalah yang selamat dari perselisihan tersebut. Yaitu, orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Siapakah mereka? Ibnu Katsir menuturkan, mereka adalah para pengikut rasul, yang berpegang teguh dengan agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
إن اليهود اقترقت على إحدى وسبعين فرقة, وإن النصارى افترقوا على ثنتين وسبعين فرقة, وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ,كلهافى النارإلا فرقة واحدة.قالوا: ومن هم يا رسول الله؟ قال:((ما أنا عليه وأصحابي))
.
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu saja .” Para Shahabat bertanya, “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam? Beliau menjawab “Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.” [H.R. At-Tirmidzi, Al Hakim].Tidak hanya menjelaskan ketetapan Allah yang terjadi di akhir zaman, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam juga memberikan jalan keluar. Beliau menjelaskan solusi di tengah menjamurnya berbagai kelompok. Yaitu dengan munculnya golongan yang selamat. Golongan yang selamat tersebut sering di sebut dengan al-firqah an najiyah atau ath thaifah al manshurah. Siapakah mereka? Apakah kita termasuk di antara mereka? Simak penjelasan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
ما أنا عليه وأصحابي
“Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.”
Sehingga, ciri-ciri golongan yang selamat adalah orang-orang yang mengembalikan seluruh cara beragamanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam dan para Shahabat. Mereka disebut dengan salafush-shalih (para pendahulu yang shaleh). Dalam seluruh aspek kehidupannya, ia merujuk kepada para salaf. Dalam bidang akidah, keyakinan, ibadah, muamalah, akhlak, manhaj, semuanya dikembalikan kepada prinsip salaf. Abdullah bin Mas’ud menafsirkan al jama’ah,”Segala sesuatu yang mencocoki kebenaran, walaupun kamu seorang diri.”
***
Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah nasihat kepada para shahabat. Nasihat tersebut begitu dalam sehingga membuat mata mengucurkan airnya dan menjadikan hati bergetar. Salah seorang Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam, seolah nasihat yang akan anda sampaikan adalah nasihat perpisahan. Apa yang anda pesankan untuk kami, wahai Rasul?” Beliau pun kemudian memberi nasihat.
Kata Beliau, “saya wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, kemudian taat kepada pemimpin kalian, sekalipun pemimpin tersebut berasal dari kalangan budak Habasyah.” Setelah itu beliau menceritakan tentang kondisi akhir zaman, “Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat itulah, kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk.”
Beliau menegaskan lagi, “Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Ungkapan ini bermakna agar kita memegang kuat sunnah tersebut seperti gigi geraham. Yaitu, sebuah gigitan yang begitu kuat dan tidak terlepas. Setelah itu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti, Jauhilah amalan-amalan yang diada-adakan! Sebab, segala amalan yang diada-adakan itu merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].
***
Pembaca, hadits-hadits di atas sebagai tolok ukur pengakuan seseorang di atas kebenaran. Kebenaran pengakuan tersebut dibuktikan dengan sikapnya. Jikalau ia mengembalikan segala permasalahan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam (Sunnah) sesuai pemahaman shahabat, maka pengakuannya benar. Jika ternyata tidak seperti itu, maka pengakuannya hanya sekadar di lisan saja.
Satu hal yang perlu di garis bawahi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam menggandengkan sunnah beliau dengan pemahaman para Shahabat. Artinya, bias jadi sebuah kelompok berslogan Al Qur’an dan Sunnah namun ternyata sesuai pemahaman tokoh dan pendiri kelompok tersebut. Tidak cukup seseorang menguasai bahasa Arab saja untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Ia masih membutuhkan penjelasan yang dating dari orang-orang di mana Al Qur’an dan Sunnah tersebut turun, yaitu para Shahabat.
Untuk itu, bagi Anda yang mendamba kebenaran, wajib untuk belajar ilmu. Dengan ilmu tersebut akan diketahui mana yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang bukan. Menuntut ilmu bisa dengan duduk di majelis ilmu, membaca buku, bulletin, majalah, atau mendengar kajian dari CD dan Kaset. Semoga kita semua dimudahkan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama. Wallahu a’lam. [Ustadz Abu Abdillah Majdi].
Sumber: Di kutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60 vol. 05 1437H-2016M hal: 16-20.
0 komentar: