Kamis, 20 Oktober 2016

WASPADA TERHADAP DOSA
Kehidupan hati merupakan syarat mutlak tumbuh kembangnya keimanan dalam kalbu. Jika hati diibaratkan dengan tanah dan iman dipermisalkan dengan pepohonan, maka hati yang hidup merupakan tanah subur. Pohon iman yang ada di dalamnya akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, hati yang mati bak tanah gersang yang pepohonan sulit tumbuh di dalamnya. Hidup dan matinya hati erat kaitannya dengan ketaatan dan kemaksiatan, amal kebaikan dan kejelekan. Dengan ketaatan dan amal kebaikan, hati akan hidup. Sebaliknya, hati menjadi mati jika penuh dengan kemaksiatan dan dosa. 

Pembaca, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua. Jangan dibayangkan bahwa matinya hati disebabkan karena dosa-dosa besar saja. Bahkan, dengan sebab dosa-dosa kecil hati juga bisa kehilangan nafas kehidupannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita meremehkan dosa kecil.

Pembagian dosa menjadi besar dan kecil kadang menipu sebagian orang sehingga membuat ia cenderung meremehkan dosa kecil. Ah, itu kan dosa kecil, dalam pandangannya. Sehinga, seolah “tidak mengapa” untuk sedikit dikerjakan. Apakah benar demikian?

Macam-macam dosa

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian dosa. Sebagian ulama memandang bahwa dosa terbagi menjadi besar dan kecil. Pembagian ini tidak berarti bahwa tidak mengapa mengerjakan dosa kecil. Tidak pula bermakna bahwa larangan untuk mengerjakan dosa kecil lebih ringan dibandingkan dosa besar.

Ulama yang lain berpendapat tidak adanya pembagian dosa menjadi besar dan kecil. Besar atau kecil, tetap dianggap dosa, karena sama-sama melanggar larangan Allah. Sehingga, seseorang wajib untuk waspada dari semua jenis dosa.

Pembaca, mari kita ikuti pembahasan berikut, semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, kemudian bisa diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kriteria Dosa besar dan Kecil

Ada banyak ragam definisi dan kriteria tentang dosa besar yang dikemukakan oleh para ulama’. Di antaranya, dosa besar adalah segala larangan yang disertai ancaman berupa laknat, murka, marah atau siksaan. Adapun larangan yang tidak disertai dengan ancaman-ancaman tersebut maka disebut dosa kecil.

Pendapat lain bahwa dosa besar adalah dosa yang apabila dikerjakan maka pelakunya berhak mendapatkan hukuman had di dunia dan ancaman di akhirat. Sedangkan dosa yang tidak mendapatkan hukum had di dunia dan tidak mendapatkan ancaman di akhirat adalah dosa kecil. Ada pula yang menyatakan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang pelakunya dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya.

Besar atau kecil, tetap dosa!

Besar maupun kecil, sebuah pelanggaran itu tetaplah dosa. Ditinjau dari kelancangannya kepada Allah dan penyelisihannya terhadap perintah-Nya, semua dosa adalah besar. Sehingga sisi pandangnya adalah pada Dzat yang dimaksiati perintah-Nya, Yang dilanggar keharaman-Nya.
Dengan demikian semua dosa itu tergolong sebagai dosa besar, karena memiliki dampak kerusakan yang sama.

Kenapa? Karena dosa-dosa itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh dan mudharat kepada Allah. Sehingga semua dosa jika ditinjau dari siapa yang ditentang, maka tidak ada satu dosa yang lebih besar dibandingkan dosa lainnya.

Jadi, semuanya adalah bentuk kemaksiatan dan penentangan terhadap Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa yang lain.

Segala jenis kemaksiatan juga mengandung bentuk perendahan dan penghinaan terhadap perintah atau larangan dan juga melanggar keharaman Allah. Dari sisi ini tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa lainnya.

Sehingga dikatakan, “Janganlah seorang hamba melihat besar atau kecilnya sebuah dosa akan tetapi hendaknya ia melihat pada kedudukan, ketinggian dan keagungan Dzat yang ia maksiati, yaitu Allah.”

Waspada terhadap dosa

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya semata (menauhidkan-Nya). Sebagaimana firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Tauhid, itulah puncak tujuan hidup manusia yang digariskan Allah. Sehingga segala sesuatu yang menyelisihi tujuan tersebut adalah dosa. Semakin jauh seseorang dari tujuan penciptaannya (menauhidkan Allah), ia semakin jatuh ke dalam dosa.

Sehingga, kesyirikan (lawan dari tauhid) itu adalah dosa yang amat besar. Sebab, segala sesuatu yang paling bertentangan dan paling menyelisihi tujuan ini adalah dosa besar yang paling besar. Tingkatan dosa tersebut sesuai dengan perbedaan kadar pertentangan dan penyelisihan terhadapnya. Sebaliknya, segala sesuatu yang paling mencocoki tujuan ini maka hal tersebut adalah kewajiban yang paling wajib dan ketaatan yang paling utama.

Dosa kecil bisa menjadi besar

Pembaca, tidak disadari, dosa kecil terkadang bisa menjadi besar. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Di antaranya, bila dosa kecil tersebut dilakukan secara terus-menerus. Faktor berikutnya, ia meremehkan tabir penutupan dosa dari Allah. Terkadang Allah menutupi maksiat seseorang dari pengetahuan manusia untuk memberi kesempatan kepadanya agar segera bertaubat dan memperbaiki diri. Namun sangat disayangkan, hal ini tidak jarang membuat seorang pendosa tertipu. Sehingga ia kembali mengulangi dosa tersebut. Ia baru akan berhenti setelah manusia mengetahui kebobrokan dirinya.

Nah, seseorang yang meremehkan tabir yang diberikan Allah terhadap dosanya, dan meremehkan penangguhan-Nya terhadapnya akan menjadikan dosa tersebut menjadi semakin besar. Faktor lainnya adalah bangga dan menceritakan dosa-dosa tersebut kepada orang lain. Nabi bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الْعَمَلَ بِاللَّيْلِ، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

 “Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan maksiat. Termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang berbuat maksiat pada malam hari, lalu keesokannya Allah menutupi kesalahan tersebut, tetapi dia mengatakan, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Pada malam hari Allah menutupi kesalahannya, tetapi keesokannya dia sendiri yang menyingkap tabir Allah dari dirinya.” (HR. al-Bukhari 6069 dan Muslim 2990 dari shahabat Abu Hurairah)

Faktor lain yang menjadikan sebuah dosa kecil menjadi besar adalah dosa kecil tersebut dilakukan oleh orang alim yang dijadikan teladan.

Kalau diketahui bahwa dosa kecil tersebut dilakukan oleh sang alim, lalu diikuti oleh orang lain maka ketika itu berubahlah dosa tersebut menjadi dosa besar.  Sekalipun dia telah mati, kejelekannya terus menyebar di penjuru dunia.

Dosa para ulama berlipat ganda manakala ditiru orang lain, sebagaimana kebaikan mereka pun berlipat ganda manakala diteladani orang lain.

Hendaknya seorang alim bersikap tengah dalam hal penampilan dan penggunaan harta. Hanya saja, seyogianya dia cenderung sederhana karena manusia senantiasa memerhatikan dirinya.

Nilai sebuah dosa lebih besar ketika dilakukan di bula-bulan haram.

Para pembaca rahimakumullah, bulan-bulan haram adalah bulan-bulan yang kehormatannya lebih dibandingkan bulan lainnya. Bulan-bulan haram tersebut ada empat yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Pada bulan-bulan tersebut perbuatan dosa dan kezhaliman lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Sebagaimana amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar pula pahalanya. Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ…….

 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri-diri kalian dalam bulan yang empat itu,…” (at-Taubah: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau menukil ucapan seorang tabiin yang bernama Qatadah, “Sesungguhnya perbuatan zhalim yang dilakukan di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya.”
Al-Imam as-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau berkata, “Yakni seluruh bulan yang dua belas (sepanjang tahun-pen). Kemudian Allah mengkhusus dari 12 bulan tadi yaitu empat bulan dan menjadikannya bulan-bulan haram, serta menjadikan perbuatan maksiat  padanya lebih besar dosanya dan amal shalih lebih besar pahalanya.”

Kesimpulan

Walhasil, seseorang dituntut untuk merealisasikan tujuan utama dia diciptakan, yaitu beribadah hanya kepada Allah semata. Ia juga harus menjauhkan diri dari segala dosa. Tidak perlu ia melihat, apakah dosa tersebut besar maupun kecil. Sebab, dosa apapun akan menjauhkan pelakunya dari Allah dan dari beribadah kepada-Nya.

Dengan begitu, hatinya akan semakin hidup. Hidup dengan ilmu, dengan ibadah dan amal shalih. Semoga Allah memberi kita taufik untuk selalu menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Sumber: Buletin Al Ilmu




Senin, 17 Oktober 2016

KOBARKAN SEMANGAT IBADAH DIUSIA LANJUT
 Rasulullah bersabda,
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.” (HR. al-Bukhari no. 5940 dari shahabat Abu Hurairah)

Para pembaca yang berbahagia. Hendaklah kita sadari bahwasanya keadaan akhir kehidupan seorang hamba di dunia akan sangat menentukan kebahagiaan dan kesengsaraannya pada kehidupan di akhirat kelak.

Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk surga hingga tidak ada jarak antara dia dengan surga melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk neraka hingga diapun masuk ke dalam neraka. Dan sungguh salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk neraka hingga tidak ada jarak antara dia dengan neraka melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk surga hingga diapun masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari no. 2969 dan Muslim no. 4781 dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud)

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk selalu istiqomah (kontinu) dalam beramal shalih, dan janganlah patah semangat meski telah lanjut usia (tua). Terlebih lagi tatkala usia masih muda, di saat semangat masih berkobar-kobar, jasmani masih sehat dan fikiranpun masih kuat, hendaklah lebih bersemangat lagi untuk memperbanyak amalan shalih, jangan sampai kalah dengan orang yang telah lanjut usia. Dikarenakan kita semua tidak mengetahui kapan ajal akan datang menjemput diri kita. Terkadang ajal menjemput seorang hamba tatkala usia masih muda belia, dan terkadang pula ajal menjemput seorang hamba di saat lanjut usia.

Penyesalan tiada guna akan dirasakan oleh para penghuni neraka kelak, tatkala mereka meminta kepada Allah untuk dikeluarkan dari neraka untuk dikembalikan lagi ke dunia agar bisa beramal shalih. Maka Allah menyatakan,

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berfikir bagi orang yang mau berfikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?”
(Fathir: 37)

Para ulama pun berbeda pendapat di dalam menafsirkan kalimat “memanjangkan umurmu”, di antara berbagai tafsiran tersebut adalah: hingga mencapai usia 60th, 80th, 40th dan baligh.

Maka ayat ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur seseorang sudah sepantasnya baginya untuk berfikir, memikirkan masa depannya di akhirat nanti.

Sudah seberapa banyak bekal amal shalih yang akan dia bawa nanti di hadapan Allah? Tidak adakah keinginan baginya untuk menambah bekal tersebut dengan memperbanyak amal shalih?

Dan juga seberapa banyak kemaksiatan yang telah dia lakukan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang api neraka? Tidak adakah keinginan baginya untuk menghapus kemaksiatan tersebut dengan bertaubat kepada Allah? Maka fikirkanlah wahai hamba-hamba Allah sebelum terlambat!

Makna Hadits

Dalam hadits diatas Rasulullah bersabda,

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.”

Dari hadits ini difahami bahwa Allah telah memberikan toleransi usia kepada hamba-Nya hingga mencapai batas maksimal yaitu usia 60 tahun. Sehingga apabila seseorang telah dipanjangkan umurnya hingga mencapai usia 60 tahun maka tiada lagi toleransi atas kebodohannya terhadap ilmu agama. Terlebih lagi kalau dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Karena dengan rentang usia hingga 60 tahun, hakikatnya Allah memberikan kesempatan yang cukup panjang kepadanya agar dapat menuntut ilmu agama sehingga menjadi orang yang berilmu dari keadaan yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan, untuk kemudian dia amalkan ilmu yang telah dipelajarinya tersebut.

Al-Imam Ibnu Baththal mengatakan, “Dijadikannya usia 60 tahun sebagai batas toleransi, dikarenakan usia tersebut adalah usia yang mendekati kematian dan usia (yang seharusnya) seorang hamba kembali (bertaubat) kepada Allah, khusyu dan mewaspadai datangnya kematian. Maka ini merupakan toleransi demi toleransi sebagai bentuk kelemah lembutan Allah kepada para hamba-Nya hingga mereka pun menjadi orang yang berilmu dari yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan.” (Fathul Bari, juz 11, hlm. 240)

Subhanallah (Maha Suci Allah), sungguh betapa besar kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya, hingga mereka masih diberikan kesempatan yang panjang untuk memperbanyak amalan shalih dan bertaubat dari berbagai dosa dan kesalahan. Namun sangat disayangkan, betapa sedikitnya manusia yang mau berfikir tentang hal ini.

Berbeda jauh dengan kondisi para salaf (generasi awal umat ini) dahulu, mereka telah mempersiapkan batasan usia tertentu khusus untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Malik, “Aku mendapati para ulama di negeri kami dalam keadaan mereka mencari dunia dan ilmu. Merekapun bergaul dengan masyarakat hingga salah seorang diantara mereka mencapai usia 40 tahun. Maka apabila usia mereka telah mencapai 40 tahun, merekapun akan mengasingkan diri dari manusia dan mulai menyibukkan diri dengan amalan ibadah hingga kematian datang menjemput.” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal, juz 10, hlm. 152)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Maka yang wajib bagi seseorang untuk bersemangat (beramal) disaat lanjut usia, memperbanyak ketaatan kepada Allah, terlebih lagi pada perkara-perkara yang diwajibkan oleh Allah (seperti salat lima waktu) dan hendaklah memperbanyak kalimat istighfar (Astaghfirullah) dan tahmid (Alhamdulillah).“ (Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 1, hlm. 132)

Batas Usia Umat Muhammad

Rasulullah bersabda,
اعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِيْنَ إِلىَ السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

 “Usia-usia umatku adalah antara 60 sampai 70 th dan sangat sedikit sekali yang bisa lebih daripada usia tersebut.” (HR. at-Tirmidzi no. 3473 dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam Ibnu Baththal berkata, “Bahwasanya usia umat Muhammad antara 60 sampai 70 tahun adalah berdasarkan keumuman yang didukung dengan kenyataan, dan bahkan di antara mereka ada yang meninggal sebelum mencapai usia 60 tahun.” (Faidhul Qadir, juz 2, hlm. 15)

Dengan mengetahui hadits yang demikian, maka akan mendorong diri kita untuk segera memperbanyak amal shalih dan segera bertaubat dari kemaksiatan sebelum ajal datang menjemput diri-diri kita.

Hal ini sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah dari shahabat Abu Bakrah sebagai berikut,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling baik?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan baik amalannya’. Kemudian dia bertanya kembali, ‘Siapakah manusia yang paling jelek?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan jelek amalannya’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2252 dari shahabat Abu Bakrah)

Keadaan Rasulullah Menjelang Wafat
Sebagai umat Muhammad tentunya lebih pantas bagi kita untuk mengambil teladan dari beliau. Yaitu semangat beribadah kepada Allah di akhir hayat beliau. Menjelang wafatnya yang ditandai dengan turunnya ayat,

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (an-Nashr: 1)

Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut ini di dalam ruku’ dan sujudnya

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

“Maha suci Allah Rabb kami, dengan memuji Engkau, ampunilah kami. (HR. al-Bukhari no. 775 dan Muslim no. 746 dari shahabat ‘Aisyah)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sebelum meninggal, Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut di dalam ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 “Maha suci Allah dan dengan memuji Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 747 dari shahabat ‘Aisyah)

Hal ini merupakan bentuk pengamalan perintah Allah dalam firman-Nya:
“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya, sungguh Dia Maha Penerima Taubat.” (an-Nashr: 3)

Nasihat

Maka sudah sepantasnya bagi kita sebagai seorang muslim, untuk memperbanyak ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan kepada kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya baik di masa muda terlebih saat lanjut usia. Semoga Allah mematikan kita semua dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bish shawab
Penulis: Ustadz Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi