Kamis, 20 Oktober 2016

WASPADA TERHADAP DOSA
Kehidupan hati merupakan syarat mutlak tumbuh kembangnya keimanan dalam kalbu. Jika hati diibaratkan dengan tanah dan iman dipermisalkan dengan pepohonan, maka hati yang hidup merupakan tanah subur. Pohon iman yang ada di dalamnya akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, hati yang mati bak tanah gersang yang pepohonan sulit tumbuh di dalamnya. Hidup dan matinya hati erat kaitannya dengan ketaatan dan kemaksiatan, amal kebaikan dan kejelekan. Dengan ketaatan dan amal kebaikan, hati akan hidup. Sebaliknya, hati menjadi mati jika penuh dengan kemaksiatan dan dosa. 

Pembaca, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua. Jangan dibayangkan bahwa matinya hati disebabkan karena dosa-dosa besar saja. Bahkan, dengan sebab dosa-dosa kecil hati juga bisa kehilangan nafas kehidupannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita meremehkan dosa kecil.

Pembagian dosa menjadi besar dan kecil kadang menipu sebagian orang sehingga membuat ia cenderung meremehkan dosa kecil. Ah, itu kan dosa kecil, dalam pandangannya. Sehinga, seolah “tidak mengapa” untuk sedikit dikerjakan. Apakah benar demikian?

Macam-macam dosa

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian dosa. Sebagian ulama memandang bahwa dosa terbagi menjadi besar dan kecil. Pembagian ini tidak berarti bahwa tidak mengapa mengerjakan dosa kecil. Tidak pula bermakna bahwa larangan untuk mengerjakan dosa kecil lebih ringan dibandingkan dosa besar.

Ulama yang lain berpendapat tidak adanya pembagian dosa menjadi besar dan kecil. Besar atau kecil, tetap dianggap dosa, karena sama-sama melanggar larangan Allah. Sehingga, seseorang wajib untuk waspada dari semua jenis dosa.

Pembaca, mari kita ikuti pembahasan berikut, semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, kemudian bisa diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kriteria Dosa besar dan Kecil

Ada banyak ragam definisi dan kriteria tentang dosa besar yang dikemukakan oleh para ulama’. Di antaranya, dosa besar adalah segala larangan yang disertai ancaman berupa laknat, murka, marah atau siksaan. Adapun larangan yang tidak disertai dengan ancaman-ancaman tersebut maka disebut dosa kecil.

Pendapat lain bahwa dosa besar adalah dosa yang apabila dikerjakan maka pelakunya berhak mendapatkan hukuman had di dunia dan ancaman di akhirat. Sedangkan dosa yang tidak mendapatkan hukum had di dunia dan tidak mendapatkan ancaman di akhirat adalah dosa kecil. Ada pula yang menyatakan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang pelakunya dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya.

Besar atau kecil, tetap dosa!

Besar maupun kecil, sebuah pelanggaran itu tetaplah dosa. Ditinjau dari kelancangannya kepada Allah dan penyelisihannya terhadap perintah-Nya, semua dosa adalah besar. Sehingga sisi pandangnya adalah pada Dzat yang dimaksiati perintah-Nya, Yang dilanggar keharaman-Nya.
Dengan demikian semua dosa itu tergolong sebagai dosa besar, karena memiliki dampak kerusakan yang sama.

Kenapa? Karena dosa-dosa itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh dan mudharat kepada Allah. Sehingga semua dosa jika ditinjau dari siapa yang ditentang, maka tidak ada satu dosa yang lebih besar dibandingkan dosa lainnya.

Jadi, semuanya adalah bentuk kemaksiatan dan penentangan terhadap Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa yang lain.

Segala jenis kemaksiatan juga mengandung bentuk perendahan dan penghinaan terhadap perintah atau larangan dan juga melanggar keharaman Allah. Dari sisi ini tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa lainnya.

Sehingga dikatakan, “Janganlah seorang hamba melihat besar atau kecilnya sebuah dosa akan tetapi hendaknya ia melihat pada kedudukan, ketinggian dan keagungan Dzat yang ia maksiati, yaitu Allah.”

Waspada terhadap dosa

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya semata (menauhidkan-Nya). Sebagaimana firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Tauhid, itulah puncak tujuan hidup manusia yang digariskan Allah. Sehingga segala sesuatu yang menyelisihi tujuan tersebut adalah dosa. Semakin jauh seseorang dari tujuan penciptaannya (menauhidkan Allah), ia semakin jatuh ke dalam dosa.

Sehingga, kesyirikan (lawan dari tauhid) itu adalah dosa yang amat besar. Sebab, segala sesuatu yang paling bertentangan dan paling menyelisihi tujuan ini adalah dosa besar yang paling besar. Tingkatan dosa tersebut sesuai dengan perbedaan kadar pertentangan dan penyelisihan terhadapnya. Sebaliknya, segala sesuatu yang paling mencocoki tujuan ini maka hal tersebut adalah kewajiban yang paling wajib dan ketaatan yang paling utama.

Dosa kecil bisa menjadi besar

Pembaca, tidak disadari, dosa kecil terkadang bisa menjadi besar. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Di antaranya, bila dosa kecil tersebut dilakukan secara terus-menerus. Faktor berikutnya, ia meremehkan tabir penutupan dosa dari Allah. Terkadang Allah menutupi maksiat seseorang dari pengetahuan manusia untuk memberi kesempatan kepadanya agar segera bertaubat dan memperbaiki diri. Namun sangat disayangkan, hal ini tidak jarang membuat seorang pendosa tertipu. Sehingga ia kembali mengulangi dosa tersebut. Ia baru akan berhenti setelah manusia mengetahui kebobrokan dirinya.

Nah, seseorang yang meremehkan tabir yang diberikan Allah terhadap dosanya, dan meremehkan penangguhan-Nya terhadapnya akan menjadikan dosa tersebut menjadi semakin besar. Faktor lainnya adalah bangga dan menceritakan dosa-dosa tersebut kepada orang lain. Nabi bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الْعَمَلَ بِاللَّيْلِ، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

 “Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan maksiat. Termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang berbuat maksiat pada malam hari, lalu keesokannya Allah menutupi kesalahan tersebut, tetapi dia mengatakan, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Pada malam hari Allah menutupi kesalahannya, tetapi keesokannya dia sendiri yang menyingkap tabir Allah dari dirinya.” (HR. al-Bukhari 6069 dan Muslim 2990 dari shahabat Abu Hurairah)

Faktor lain yang menjadikan sebuah dosa kecil menjadi besar adalah dosa kecil tersebut dilakukan oleh orang alim yang dijadikan teladan.

Kalau diketahui bahwa dosa kecil tersebut dilakukan oleh sang alim, lalu diikuti oleh orang lain maka ketika itu berubahlah dosa tersebut menjadi dosa besar.  Sekalipun dia telah mati, kejelekannya terus menyebar di penjuru dunia.

Dosa para ulama berlipat ganda manakala ditiru orang lain, sebagaimana kebaikan mereka pun berlipat ganda manakala diteladani orang lain.

Hendaknya seorang alim bersikap tengah dalam hal penampilan dan penggunaan harta. Hanya saja, seyogianya dia cenderung sederhana karena manusia senantiasa memerhatikan dirinya.

Nilai sebuah dosa lebih besar ketika dilakukan di bula-bulan haram.

Para pembaca rahimakumullah, bulan-bulan haram adalah bulan-bulan yang kehormatannya lebih dibandingkan bulan lainnya. Bulan-bulan haram tersebut ada empat yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Pada bulan-bulan tersebut perbuatan dosa dan kezhaliman lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Sebagaimana amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar pula pahalanya. Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ…….

 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri-diri kalian dalam bulan yang empat itu,…” (at-Taubah: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau menukil ucapan seorang tabiin yang bernama Qatadah, “Sesungguhnya perbuatan zhalim yang dilakukan di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya.”
Al-Imam as-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau berkata, “Yakni seluruh bulan yang dua belas (sepanjang tahun-pen). Kemudian Allah mengkhusus dari 12 bulan tadi yaitu empat bulan dan menjadikannya bulan-bulan haram, serta menjadikan perbuatan maksiat  padanya lebih besar dosanya dan amal shalih lebih besar pahalanya.”

Kesimpulan

Walhasil, seseorang dituntut untuk merealisasikan tujuan utama dia diciptakan, yaitu beribadah hanya kepada Allah semata. Ia juga harus menjauhkan diri dari segala dosa. Tidak perlu ia melihat, apakah dosa tersebut besar maupun kecil. Sebab, dosa apapun akan menjauhkan pelakunya dari Allah dan dari beribadah kepada-Nya.

Dengan begitu, hatinya akan semakin hidup. Hidup dengan ilmu, dengan ibadah dan amal shalih. Semoga Allah memberi kita taufik untuk selalu menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Sumber: Buletin Al Ilmu




Sabtu, 27 Agustus 2016

Shafiyyah bintu huyay Hembusan Angin Lembut dari Khaibar

Tatkala embun hidayah membasahi hati yang gersang, menjadi sirnalah duka cita dan kepahitan. Kesejukan hadir mengisi relung hati, menumbuhkan benih keluhuran. Seseorang yang Allah kehendaki menerima hidayah Islam, maka sungguh dia telah meraih kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan. Demikianlah kiranya takdir yang Allah tetapkan atas seorang hamba, Shafiyyah bintu Huyay. Perjalanan hidupnya ibarat bertaburan intan permata dan menyebarkan wewangian.

Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab an-Nadhiriyyah. Pemilik nasab yang mulia, dari bangsa Bani Israil. Termasuk anak cucu dari garis keturunan Nabi Harun. Ayahnya adalah seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir, demikian pula pamannya. Ibunya bernama Barrah bintu Samuel.

Masa kecilnya beliau lalui dalam asuhan keluarga Yahudi di kota Madinah. Hingga Allah persiapkan beliau untuk menerima hidayah Islam. Dalam sebuah kesempatan, Shafiyyah menuturkan tentang sepenggal kisah masa kecilnya.

Shafiyyah kecil, sebelum kedatangan Rasulullah dan para shahabatnya. Tak ada satupun dari anak-anak ayah dan pamannya yang lebih dicintai oleh keduanya daripada Shafiyyah. Setiap kali beliau berjumpa dengan ayah dan pamannya di antara anak-anak mereka yang lain, Shafiyyah pun menyambut keduanya. Maka pastilah mereka berdua mengambil Shafiyyah, bukan selainnya.

Hingga suatu hari, tibalah Rasulullah di Quba’. Berangkatlah Huyay dan Abu Yasir, sang Paman di kegelapan dini hari untuk menemui Nabi. Hingga akhirnya keduanya kembali saat matahari telah tenggelam. Kedua tokoh kaumnya itu datang dalam keadaan lemas. Shafiyyah kecil menyambut ayah dan pamannya sebagaimana yang biasa dilakukannya. Sungguh mengherankan, Shafiyyah tiada dihiraukan oleh keduanya.

Shafiyyah kemudian mendengar Abu Yasir bertanya kepada ayahnya, “Apakah benar dia orangnya?” Berkata Huyay, ”Ya, demi Allah!.” Pembicaraan di antara dua pembesar Yahudi, yang telah sekian lama menanti kedatangan Rasul terakhir. “Apakah engkau mengenalinya dengan sifat dan ciri-cirinya?”, lanjut sang Paman. “Ya, demi Allah!”, jawab Huyay tanpa keraguan. Abu Yasir melanjutkan, “Lalu apa yang ada dalam dirimu?” “Permusuhan terhadapnya, demi Allah, selama hidupku!”, tegas Huyay.

Demikianlah, Shafiyyah menyaksikan betapa ayahnya mengetahui akan kerasulan Muhammad. Bersamaan dengan itu, beliau mendapati pengingkaran ayahnya. Sungguh, kedengkian telah menghalanginya untuk mengimani Muhammad yang Allah pilih dari bangsa Arab, bukan dari bangsa mereka, Yahudi.

Waktu terus berjalan, gadis jelita ini tumbuh dewasa. Seorang wanita yang mengarungi samudera tak bertepi. Shafiyyah akhirnya dinikahi oleh Sallam bin Abil Huqaiq, kemudian sepeninggalnya menjadi istri Kinanah bin Abil Huqaiq. Keduanya termasuk di antara penyair Yahudi sekaligus tokoh kaumnya.

Di malam pengantinnya dengan Kinanah, Shafiyyah bermimpi. Dalam mimpinya, bulan datang dari Yatsrib (Madinah) lalu jatuh di pangkuannya. Dikisahkannya mimpi tersebut kepada Kinanah. Tanpa diduga, dia dengan serta-merta menampar Shafiyyah hingga membekaskan rona kehijauan di wajahnya. “Apakah engkau mendambakan penguasa Yatsrib sebagai suamimu!”, cela Kinanah.
Siapa menyangka, mimpi yang baik itu akan menjadi kenyataan. Tak berselang lama setelah pernikahan mereka, pada peristiwa penaklukan Khaibar, Kinanah terbunuh. Sementara itu, Shafiyyah tertawan sebagaimana para wanita kaumnya.

Sebuah peristiwa besar dalam kehidupan Shafiyyah. Ayahnya telah lebih dulu terbunuh di hadapan Rasulullah pada hari pertempuran dengan Yahudi Bani Quraidzhah. Lalu saat ini, suaminya pun mengalami hal yang sama. Lebih dari itu, Shafiyyah yang selama ini hidup terhormat sebagai seorang putri tokoh Bani Nadhir kini menjadi tawanan. Hitam putih tak lagi berarti. Tak terbayang, goresan-goresan luka begitu menyayat hatinya.

Di hari itu, Bilal membawa Shafiyyah dan seorang wanita lainnya. Dibawanya dua wanita itu mengelilingi mayat-mayat lelaki mereka. Menyaksikan hal tersebut, wanita yang bersama Shafiyyah berteriak-teriak, menampar-nampar wajah dan menaburkan debu ke kepalanya. Sisi yang lain, Shafiyyah tampak lebih tegar.

Tatkala Rasulullah melihat perbuatan wanita Yahudi yang pertama, berkatalah Nabi kepada Bilal, “Telah dicabut belas kasih dari dirimu wahai Bilal, hingga engkau sampai hati membawa dua wanita ini melewati mayat-mayat para lelaki mereka!” Lalu beliau memerintahkan wanita tadi agar dijauhkan.

Betapa banyak manusia yang diuji dengan kegundahgulanaan yang berkepanjangan. Kepiluan justru menutupi kalbunya dari sikap tunduk kepada takdir-Nya.

Setelahnya, Rasulullah memerintahkan agar Shafiyyah didekatkan. Lalu beliau menggiringnya sampai di belakang tubuh beliau, kemudian menutupinya dengan selendang. Para shahabat pun mengetahui bahwa Nabi telah memilih Shafiyyah.

Mulanya, Shafiyyah adalah tawanan yang termasuk pembagian untuk Dihyah al-Kalbi. Namun, dikatakan kepada Rasulullah bahwa hanyalah beliau yang pantas memilikinya. Nabi kemudian memberi ganti kepada Dihyah atas diri Shafiyyah.

Rasulullah seorang yang penuh belas kasih. Demi menyembuhkan duka lara Shafiyyah yang mendalam, beliau pun menikahinya. Sebelumnya, Nabi menawarkan kepada Shafiyyah untuk masuk Islam. Wanita ini pun berislam tanpa merasa berat. Baru kemudian Rasulullah memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar pernikahan. Pernikahan yang berlangsung tanpa saksi, sebagai kekhususan bagi Rasulullah. Ketika itu Shafiyyah berusia belum genap 17 tahun.

Pada saat itu, Nabi menjadi orang yang paling dibenci oleh Shafiyyah. Lantaran beliau telah membunuh ayah, paman, serta suaminya. Maka Rasulullah dengan penuh kelembutan mengemukakan bahwa ayahnya telah bersekongkol memusuhi islam dan kaum muslimin. Nabi senantiasa menyampaikan sejumlah alasan. Hingga pada akhirnya, amarah pun larut menjadi cinta. Dalam perjalanan pulang dari Khaibar menuju Madinah, Rasulullah menghabiskan tiga hari mengawali rumah tangga beliau dengan Shafiyyah. Beliau mendapati bekas tamparan di wajah istrinya dan menanyakannya. Shafiyyah pun mengisahkan hal tersebut.

Anas bin Malik mengundang para shahabat untuk menghadiri walimah Rasulullah. Hanya ada kurma, keju, dan mentega tanpa roti ataupun daging. Mereka lalu bertanya-tanya, apakah Shafiyyah ini seorang Ummul Mukminin ataukah budak. Di perjalanan, ternyata Rasulullah membonceng Shafiyyah dan menghijabi beliau. Para shahabat mengetahui dengan itu bahwa beliau adalah istri Nabi.

Akhirnya, sampailah rombongan dari Khaibar tersebut. Setiba di Madinah, Shafiyyah menghadiahkan anting-anting emas yang dipakainya kepada Fathimah dan beberapa wanita yang bersamanya.

Shafiyyah kini berada di tengah rumah tangga nubuwwah. Ketaatan kepada suami telah membingkai kesehariannya sebagai seorang istri salehah. Merajut asa seindah pelangi, seharum bunga kasturi.
Lain halnya dengan sebagian wanita di masa ini. Tak jarang, ia menyakiti suaminya dengan lisan dan perbuatannya. Memercik api, membakar kenangan lama. Perangainya buruk sebanding dengan ketajaman lisannya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di kala susah.

Bumi yang luas ini terasa sempit dalam benak sang Suami. Siapa gerangan yang berani atas laknat dari Allah?

Dengan membanggakan kecantikan serta kedudukannya, patuh dan tunduk menjelma menjadi dua kata yang tiada guna.

Suatu ketika, Rasulullah menemui Shafiyyah dan mendapatinya sedang menangis. Nabi pun menanyainya. Rupanya, sampai kepada Shafiyyah bahwa ‘Aisyah dan Hafshah berkata tentangnya, “Kami lebih baik dari Shafiyyah. Kami adalah putri-putri paman Rasulullah dan istri-istrinya!”. Mendengar hal itu, Rasulullah menghibur hati sang Istri seraya berkata, “Tidakkah engkau katakan kepada mereka, bagaimana kalian bisa lebih baik dariku, sementara bapakku adalah Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad!”

Demikianlah, kala cemburu melanda. Sesuatu yang lazim terjadi pada setiap wanita. Dalam kenyataannya, sebagian istri belum mampu menyikapi tatkala api cemburu memenuhi sukma. Pelanggaran, pengabaian hak suami, hingga percikan konflik rumah tangga bakal menanti.

Di masa Khalifah ‘Umar, pernah terjadi kedustaan atas diri Shafiyyah. Seorang budak wanita miliknya mendatangi Khalifah dan mengadukan bahwa Shafiyyah masih menyukai hari Sabtu dan menyambung hubungan dengan kaum Yahudi. ‘Umar mengirim utusan, menanyakan hal itu. Berkata Shafiyyah, “Tentang hari Sabtu, aku tidak lagi menyukainya sejak Allah menggantikannya dengan hari Jum’at. Adapun Yahudi, sesungguhnya aku masih memiliki kekerabatan maka akupun menyambungnya.” Shafiyyah lalu bertanya kepada budaknya, “Apa yang membuatmu melakukannya?” Si Budak menjawab, “Setan!” Subhanallah, mendengar jawaban itu, beliau justru membebaskannya.

Inilah Shafiyyah bintu Huyay. Di bulan Ramadhan tahun 50 H, pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Shafiyyah mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya lalu dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah meridhainya.

Para pembaca yang mulia, kecantikan serta kedudukan tidak lain hanyalah kesenangan dalam kehidupan dunia. Tetapi, keduanya bukanlah menjadi segala-segalanya dalam timbangan agama.
Kebahagiaan hanyalah didapatkan dengan amalan kebajikan. Karena, para pemilik kebaikan berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dipertemukan dengan Rasulullah beserta kaum mukminin.

Wallahu Ta’ala a’lam bish showaab
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi
Sumber:http://buletin-alilmu.net/2016/08/19/shafiyyah-bintu-huyay-hembusan-angin-lembut-dari-khaibar/

Selasa, 12 Januari 2016

Doa Ketika Sedih dan Gelisah

اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْم الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجِلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

“Ya Allah, sungguh aku hamba-Mu, anak hamba-Mu, anak hamba-Mu (yang perempuan), ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, adil takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegundahanku.”
(HR. Ahmad, 1/391 no. 3527, dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)

Senin, 01 Juni 2015

Mencintai Allah

Mencintai Allah

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


Hidup di dunia hanyalah untuk beribadah menghamba kepada Sang Khaliq, untuk itulah kita diciptakan.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Dia Yang Mahasuci diibadahi dengan rasa takut (khauf), berharap (raja’) dan cinta (mahabbah). Tiga rasa ini tidak boleh ada yang hilang salah satunya, ketiganya harus komplet ada pada diri si penghamba.
Untuk khauf dan raja’ akan ada pembicaraan tersendiri di waktu-waktu mendatang, insya Allah. Adapun kali ini, secara ringkas kita akan berbicara tentang mahabbah.

Mencintai Allah subhanahu wa ta’ala yang selanjutnya kita sebut dengan mahabbatullah, bagaimanakah hakikatnya? Apakah diri kita sudah mencintai-Nya dengan semestinya? Ataukah diri kita malah tenggelam dalam mengejar cinta makhluk atau kalbu kita disesaki dengan mabuk cinta kepada makhluk sehingga tidak tersisa tempat untuk-Nya?

Jujur kita akui, kebanyakan dari umur kita telah kita lalui dengan pembicaraan tentang cinta kepada makhluk dan ambisi untuk beroleh cinta makhluk. Ketika cinta kita kepada si makhluk bertepuk sebelah tangan, gayung tiada bersambut, patahlah hati kita, serasa sesak dada kita. Demikianlah cinta dan mencinta makhluk, kita bisa “sakit” karenanya.

Adapun cinta yang selama ini sering kita abaikan dan terluputkan dari pikiran kita, padahal dia merupakan cinta teragung, sungguh tiada membekaskan sakit yang melukai kalbu. Itulah cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak akan patah arang seorang hamba yang mencintai-Nya ketika mengejar cinta-Nya. Karena siapa yang jujur dalam cintanya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan membalas. Sebuah cinta yang berbuah kemanisan, kelapangan, dan kebahagiaan di dunia dan terlebih lagi di akhirat kelak.

Mahabatullah adalah sebuah kelaziman bagi yang mengaku beriman kepada-Nya, baik dia lelaki maupun perempuan. Bahkan cinta ini termasuk syarat Laa ilaaha illlallah[1] dan merupakan asas atau landasan dalam beramal. (ad-Da’u wa ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 303) Yang namanya mencinta-Nya bukanlah sekadar pengakuan lisan atau ucapan di bibir saja, namun harus sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam tanzil-Nya,

Katakanlah (ya Muhammad), “Jika benar-benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian….” (Ali Imran: 31)

Kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim pemutus (yang memberikan penghukuman) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, sementara orang itu tidak di atas thariqah muhammadiyah (yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Orang itu dusta dalam pengakuan cintanya sampai dia mau mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tunduk pada ajaran nabawiyah dalam seluruh ucapan, perbuatan dan keadaannya, sebagaimana berita yang datang dalam kitab Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak di atas perintah/perkara kami maka amalan itu tertolak.”[2]
 
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“… niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Dengan mencintai-Nya, yang dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan mendapatkan lebih daripada apa yang kalian upayakan yaitu kalian akan mendapatkan cinta- Nya, dan ini lebih agung daripada yang pertama (cinta kalian kepada-Nya), sebagaimana kata sebagian ulama ahli hikmah,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ

“Tidaklah penting bagaimana kamu mencinta, yang penting hanyalah bagaimana kamu dicinta.”
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan selainnya dari pendahulu umat ini yang salih berkata, “Ada orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala uji mereka dengan ayat ini (ayat 31 dari surat Ali Imran). “

Karena itulah, ayat ini dinamakan ayat mihnah/ujian, kata al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/24—25)

Bila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kalian maka itu merupakan bukti cinta kalian jujur kepada-Nya. Adapun bukti cinta kalian kepada-Nya adalah ittiba’ (mengikuti) kepada sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ittiba’ tersebut, kalian beroleh buahnya yaitu cintanya Dzat yang mengutus sang Rasul. Bila kalian tidak mau ittiba’ kepada sang Rasul, lalu kalian mengaku cinta kepada-Nya maka cinta kalian tidaklah benar sehingga Dia pun tidak mencintai kalian. (Madarij as-Salikin, 3/20)

Ada sepuluh sebab yang dengannya seorang hamba akan beroleh cintanya Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah,
  1. Membaca al-Qur’an dengan tadabbur, memahami maknanya dan apa yang diinginkan dengannya.
  2. Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan nawafil setelah mengerjakan yang fardhu, karena ini akan mengantarkan kepada derajat dicintai setelah mencintai[3].
  3. Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan dengan lisan, kalbu, dan amalan. Bagian yang diperoleh seorang hamba dari cinta-Nya sesuai dengan bagiannya dalam mengingat Dzat yang dicinta.
  4. Mengutamakan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang kamu cintai tatkala hawa nafsu sedang bergejolak.
  5. Kalbu berusaha mempersaksikan dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berbolak-balik dalam taman pengetahuan ini.
Siapa yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, dia pasti akan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, karena itulah kelompok sesat al-mua’thilah dan fir’auniyah serta jahmiyah[4] merupakan perampok atau pembegal jalanan bagi kalbu untuk sampai kepada Dzat yang dicintai.[5]
  1. Menyaksikan dan mengakui kebaikan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang zahir maupun batin.
  2. Ini yang paling mengagumkan, yaitu hancur luluhnya kalbu secara total di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, merasa tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya. Tiada tersisa kesombongan sedikit pun karena menyadari diri ini tidak ada apa-apanya sama sekali di hadapan kebesaran dan kekuasaan Sang Khaliq.
  3. Bersepi-sepi (khalwat) dengan-Nya di waktu turun-Nya[6] untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca kalam-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan tobat.
  4. Duduk-duduk (bermajelis) dengan para pecinta-Nya, orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka, dan memetik buah yang indah dari ucapan mereka sebagaimana buah yang bagus dipilih dari yang selainnya.
  5. Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan kalbu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18)
Sebagai penutup, sama kita ingat agar saya, Anda, dan siapa saja dari para hamba janganlah sibuk mencinta dan mencari cinta makhluk, namun mengabaikan untuk mencintai-Nya dan beroleh cinta-Nya.

Sungguh, siapa yang mencintai-Nya dengan jujur, Dia pun akan mencintai si hamba dan menjadikan penduduk langit dan bumi mencintai si hamba, sebagaimana dalam hadits,

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ…

Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Allah memanggil Jibril, lalu berkata, “Wahai Jibril, sungguh, Aku mencintai Fulan maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai si Fulan. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sungguh, Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan (rasa cinta) penghuni bumi kepada si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

[1] Tidak diterima dan tidak bermanfaat ucapan Laa ilaaha illlallah seseorang sampai dia mencintai kalimat ini berikut makna yang dikandungnya.
[2] HR. Muslim, dan al-Bukhari membawakannya secara mu’allaq.
[3] Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ بَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan
yang diwajibkan kepadanya. Dan terus menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil (sunnah) hingga Aku mencintainya.(HR. al-Bukhari)
[4] Kelompok yang menolak sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, seluruhnya atau sebagiannya, bahkan ada yang sampai menolak nama-nama-Nya yang husna (mencapai puncak kebaikan).
[5] Mereka yang menolak nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, bagaimana bisa mencintai-Nya dengan sebenar-benarnya?
[6] Pada sepertiga malam yang akhir, sebagaimana diberitakan dalam hadits yang sahih.

Sumber: http://asysyariah.com/mencintai-allah/