Selasa, 21 Februari 2017

Bersih di luar Busuk di Dalam
Jualan buah, memang berisiko rugi, sebab dari buah yang dijual, ada di antaranya yang nampak bagus dan mulus di luarnya namun jelek dan busuk dalamnya. Mata orang yang sehari-harinya berkecimpung dengan bisnis buahpun bisa jadi tidak menyangka isi buahnya ternyata busuk, apalagi masyarakat yang memang tidak paham seluk beluk buah. Ah, ini mengingatkanku kepada sebagian anak yang pernah bergaul denganku.

Sopan, pendiam, dan murah senyum. Dari luar sih terhitung anak yang baik-baik. eh ternyata di waktu setelahnya terbukti menyimpan berbagai sikap buruk dan perilaku yang tak terpuji. Bak pepatah mengatakan 'Masak di luar, mentah di dalam'. Kelihatan dari tampak luar seperti orang baik-baik, padahal kenyataannya tidak demikian.

SALEH NAMUN THALIH

Sobat muda, ada orang yang penampilan sehari-harinya serba agamis. Dari sisi pakaian, tutur kata, sikap, dan pergaulan nampak mencerminkan kesalehan. Senantiasa menjaga hak-hak Allah dan hak-hak sesama makhluk. Tapi di kesempatan lain, perbuatannya jauh dari ketaatan. Tak takut kepada Allah, bahkan naudzubillah, begitu durhaka terhadap hukum Allah dan membencinya. Barangkali, yang ia nampakkan sekadar ingin dianggap orang lain, atau merasa takut dengan peraturan di lingkungannya bila ia nampakkan sikap aslinya, atau berusaha menutupi kejelekannya agar terhindar dari kemarahan orang tua dan teman-temannya. Inilah bentuk sikap seorang yang saleh di luar namun thalih (buruk) dalam  batinnya.

Kemunafikan dalam sifat Lahiriyah

Sobat muda, hati-hati loh dengan sikap kemunafikan. Ketika bersama manusia dalam keramaian menampakkan dirinya sholeh, namun ketika sendirian, atau ketika bersama seorang yang setipe dengannya, ia jauh berbeda. Ini merupakan sikap nifak yang ashgar (sikap kemunafikan yang belum mengeluarkan dari Islam). Tapi sikap ini adalah jembatan menuju kepada kemunafikan hakiki yang mengantarkan kepada kekafiran. Diawali dengan kemunafikan dari sisi amaliyah, suatu ketika bila menjadi kebiasaan, akan menyeret pula kepada kemunafikan dalam hal keyakinan, naudzubillah min dzalik. Keislaman seseorang akan luntur sedikit demi sedikit dalam keadaan ia tidak menyadari.

Oleh karena itu Al Hasan Al Bashri رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى mengatakan:

مِنَ النَّفَا قِ إِخْتِلَافُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ, وَاخْتِلَافُ السِّرِّ وَالعَلَانِيِّةِ , وَاخْتِلَافُ الذُخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

"Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar. " (Jaami'ul 'Ulum Wal Hikam, 2/490)

Inilah bentuk kemunafikan ringan yaitu dengan adanya perbedaan antara yang nampak dan yang tersembunyi yang dapat menyeret kepada kemunafikan yang berat. Sobat Muda, sebagian ulama salaf juga menyatakan

خُشُوْعُ الِّنْفَاقِ أَنْ تَرَى الجَسَدَ خَا شِعًا, وَالقَلْبُ لَيْسَ بِخَاشِعٍ 

"Khusyuk yang munafik, adalah ketika jasad terlihat Khusyuk. Namun hati tak ada kekhusyukan." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 2/490)

 Jadi sobat muda, yang dia nampakkan adalah kekhusyukan sholat, namun hatinya mengembara ke berbagai macam hal di luar Sholat. Hati tidak sejalan dengan lahiriyahnya. Umar pernah berkhutbah di atas mimbar, lantas beliau mengatakan, 

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ المَنَافِقُ العَلِيْمُ, قَالُوْ:كَيْفَ يَكُوْنُ المَنَا فِقُ عَل\يْمً؟ قَالَ: يَتَكَلَّمُ بِالْحِكْمَةِ , وَيَعْمَلُ بِالجَوْر , أَوْ قَالَ : المَنْكَرِ 

"Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang munafik yang berilmu." Para sahabat lantas bertanya, "Bagaimana bisa ada orang munafik yang berilmu?" Umar menjawab, "Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran." Sahabat Hudzaifah pun mengatakan, 

الَّذِيْ يَصِفُ الإِيْمَانَ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ 

"Ia menyifati diri beriman namun tak beramal."

Amalan merupakan bagian dari iman. Dengan ini, para ulama menjadikan pengakuan keimanan tanpa amalan sebagai tanda-tanda kemunafikan. Nah sobat muda, dengan definisi definisi ini masing-masing kita dapat menilai keadaan diri kita sendiri. 

LEBIH BAIK NAKAL TAPI JUJUR DARIPADA BAIK TAPI MUNAFIK?

 "Lebih baik nakal tapi jujur, ketimbang Alim tapi Munafik". Menurutku kata-kata di atas ada benernya. Nakal tapi jujur, karena banyak orang yang tau itulah letak kejujurannya. Tidak MUNAFIK. Sedang yang Alim tapi Munafik itu tidak jujur. Membohongi diri sendiri dan orang lain. Supaya apa? ya supaya keliatan BAIK aja di depan orang banyak. Cuma KELIATAN aja ya, bukan BENERAN BAIK! kalo aku mending jadi yang terasing karena nakal daripada hidup dalam KEMUNAFIKAN. Hihi."

Sobat muda, komentar ini cukup menggelitik. Seakan kalimat ini melegalisasi akan bolehnya kita berbuat "nakal" asalkan jujur. Yang penting tidak munafik. Benarkah yang seperti ini? Sobat muda, tak ada dalam kamus manapun nakal mesti dibawa pada makna kebaikan. Bahkan nakal mesti dibawa pada makna negatif. Bisa bermakna melanggar aturanlah, tidak memiliki kesopananlah, berbuat buruk, menzalimi dan berbagai makna jelek lainnya. Jadi bagaimana pun juga, nakal pasti bermakna kurang baik. nah, kalo mau membandingkan, pilih mana, antara nakal tapi jujur atau baik tapi munafik? Jawabnya ini tidak baik, itu juga tidak baik. Tidak boleh kita memilih salah satunya, toh Allah menyuruh kita untuk menjadi baik lahiriahnya dan batinnya. Jadi yang baik dalam sifat lahiriyahnya sekaligus sifat batiniyahnya, itulah yang terbaik. Allah telah berfirman;

 "Mereka itu tidak sama, di antara Ahli kitab itu golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud sholat malam. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada kebaikan, dan mencagah dari yang mungkar, dan bersegera mengerjakan pelbagai kebajikan; mereka itulah termasuk orang yang sholeh."(Qs. Ali Imran 113-114)

Nah sobat muda, jelas bukan dalam ayat ini bagaimana Allah menyifati seorang yang sholeh dengan menggabungkan antara  amalan batin (keimanan) dengan amalan lahiriyahnya. Dalam ayat lain Allah Jalla wa ala, berfirman: 

وَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّلِحَتِ لَنُدْ خِلَنَّهُمْ فِى الصَّلِحِيْنَ

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh benar-benar akan kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang sholeh."(Qs. Al Ankabut:9)

Jadi, tidak bisa dikatakan sholeh sampai mau menggabungkan antara keimanan yang merupakan amalan batin dengan amal anggota badan yang nampak. Jadi, nggak benar seorang yang mengatakan 'yang penting hatinya' padahal ahli maksiat, nggak benar orang mengatakan 'yang penting hatinya berjilbab' padahal dia wanita yang tidak suka berjilbab, 

Oleh karenanya jasadnya harus selaras dengan hati, dan sebaliknya. Ingat sobat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaitkan antara jasad dengan hati seseorang dalam sabdanya yang artinya, 
"Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging," kata Nabi, "Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari - Muslim)

Nah, sobat muda sudah siapkan memperbaiki kualitas lahir dan batin kita? [Ustadz Hammam]

Sumber: "Dikutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60  vol.05 1437H-2016M (hal 99-102)."





 


Senin, 17 Oktober 2016

KOBARKAN SEMANGAT IBADAH DIUSIA LANJUT
 Rasulullah bersabda,
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.” (HR. al-Bukhari no. 5940 dari shahabat Abu Hurairah)

Para pembaca yang berbahagia. Hendaklah kita sadari bahwasanya keadaan akhir kehidupan seorang hamba di dunia akan sangat menentukan kebahagiaan dan kesengsaraannya pada kehidupan di akhirat kelak.

Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk surga hingga tidak ada jarak antara dia dengan surga melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk neraka hingga diapun masuk ke dalam neraka. Dan sungguh salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk neraka hingga tidak ada jarak antara dia dengan neraka melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk surga hingga diapun masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari no. 2969 dan Muslim no. 4781 dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud)

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk selalu istiqomah (kontinu) dalam beramal shalih, dan janganlah patah semangat meski telah lanjut usia (tua). Terlebih lagi tatkala usia masih muda, di saat semangat masih berkobar-kobar, jasmani masih sehat dan fikiranpun masih kuat, hendaklah lebih bersemangat lagi untuk memperbanyak amalan shalih, jangan sampai kalah dengan orang yang telah lanjut usia. Dikarenakan kita semua tidak mengetahui kapan ajal akan datang menjemput diri kita. Terkadang ajal menjemput seorang hamba tatkala usia masih muda belia, dan terkadang pula ajal menjemput seorang hamba di saat lanjut usia.

Penyesalan tiada guna akan dirasakan oleh para penghuni neraka kelak, tatkala mereka meminta kepada Allah untuk dikeluarkan dari neraka untuk dikembalikan lagi ke dunia agar bisa beramal shalih. Maka Allah menyatakan,

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berfikir bagi orang yang mau berfikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?”
(Fathir: 37)

Para ulama pun berbeda pendapat di dalam menafsirkan kalimat “memanjangkan umurmu”, di antara berbagai tafsiran tersebut adalah: hingga mencapai usia 60th, 80th, 40th dan baligh.

Maka ayat ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur seseorang sudah sepantasnya baginya untuk berfikir, memikirkan masa depannya di akhirat nanti.

Sudah seberapa banyak bekal amal shalih yang akan dia bawa nanti di hadapan Allah? Tidak adakah keinginan baginya untuk menambah bekal tersebut dengan memperbanyak amal shalih?

Dan juga seberapa banyak kemaksiatan yang telah dia lakukan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang api neraka? Tidak adakah keinginan baginya untuk menghapus kemaksiatan tersebut dengan bertaubat kepada Allah? Maka fikirkanlah wahai hamba-hamba Allah sebelum terlambat!

Makna Hadits

Dalam hadits diatas Rasulullah bersabda,

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.”

Dari hadits ini difahami bahwa Allah telah memberikan toleransi usia kepada hamba-Nya hingga mencapai batas maksimal yaitu usia 60 tahun. Sehingga apabila seseorang telah dipanjangkan umurnya hingga mencapai usia 60 tahun maka tiada lagi toleransi atas kebodohannya terhadap ilmu agama. Terlebih lagi kalau dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Karena dengan rentang usia hingga 60 tahun, hakikatnya Allah memberikan kesempatan yang cukup panjang kepadanya agar dapat menuntut ilmu agama sehingga menjadi orang yang berilmu dari keadaan yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan, untuk kemudian dia amalkan ilmu yang telah dipelajarinya tersebut.

Al-Imam Ibnu Baththal mengatakan, “Dijadikannya usia 60 tahun sebagai batas toleransi, dikarenakan usia tersebut adalah usia yang mendekati kematian dan usia (yang seharusnya) seorang hamba kembali (bertaubat) kepada Allah, khusyu dan mewaspadai datangnya kematian. Maka ini merupakan toleransi demi toleransi sebagai bentuk kelemah lembutan Allah kepada para hamba-Nya hingga mereka pun menjadi orang yang berilmu dari yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan.” (Fathul Bari, juz 11, hlm. 240)

Subhanallah (Maha Suci Allah), sungguh betapa besar kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya, hingga mereka masih diberikan kesempatan yang panjang untuk memperbanyak amalan shalih dan bertaubat dari berbagai dosa dan kesalahan. Namun sangat disayangkan, betapa sedikitnya manusia yang mau berfikir tentang hal ini.

Berbeda jauh dengan kondisi para salaf (generasi awal umat ini) dahulu, mereka telah mempersiapkan batasan usia tertentu khusus untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Malik, “Aku mendapati para ulama di negeri kami dalam keadaan mereka mencari dunia dan ilmu. Merekapun bergaul dengan masyarakat hingga salah seorang diantara mereka mencapai usia 40 tahun. Maka apabila usia mereka telah mencapai 40 tahun, merekapun akan mengasingkan diri dari manusia dan mulai menyibukkan diri dengan amalan ibadah hingga kematian datang menjemput.” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal, juz 10, hlm. 152)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Maka yang wajib bagi seseorang untuk bersemangat (beramal) disaat lanjut usia, memperbanyak ketaatan kepada Allah, terlebih lagi pada perkara-perkara yang diwajibkan oleh Allah (seperti salat lima waktu) dan hendaklah memperbanyak kalimat istighfar (Astaghfirullah) dan tahmid (Alhamdulillah).“ (Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 1, hlm. 132)

Batas Usia Umat Muhammad

Rasulullah bersabda,
اعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِيْنَ إِلىَ السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

 “Usia-usia umatku adalah antara 60 sampai 70 th dan sangat sedikit sekali yang bisa lebih daripada usia tersebut.” (HR. at-Tirmidzi no. 3473 dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam Ibnu Baththal berkata, “Bahwasanya usia umat Muhammad antara 60 sampai 70 tahun adalah berdasarkan keumuman yang didukung dengan kenyataan, dan bahkan di antara mereka ada yang meninggal sebelum mencapai usia 60 tahun.” (Faidhul Qadir, juz 2, hlm. 15)

Dengan mengetahui hadits yang demikian, maka akan mendorong diri kita untuk segera memperbanyak amal shalih dan segera bertaubat dari kemaksiatan sebelum ajal datang menjemput diri-diri kita.

Hal ini sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah dari shahabat Abu Bakrah sebagai berikut,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling baik?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan baik amalannya’. Kemudian dia bertanya kembali, ‘Siapakah manusia yang paling jelek?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan jelek amalannya’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2252 dari shahabat Abu Bakrah)

Keadaan Rasulullah Menjelang Wafat
Sebagai umat Muhammad tentunya lebih pantas bagi kita untuk mengambil teladan dari beliau. Yaitu semangat beribadah kepada Allah di akhir hayat beliau. Menjelang wafatnya yang ditandai dengan turunnya ayat,

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (an-Nashr: 1)

Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut ini di dalam ruku’ dan sujudnya

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

“Maha suci Allah Rabb kami, dengan memuji Engkau, ampunilah kami. (HR. al-Bukhari no. 775 dan Muslim no. 746 dari shahabat ‘Aisyah)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sebelum meninggal, Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut di dalam ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 “Maha suci Allah dan dengan memuji Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 747 dari shahabat ‘Aisyah)

Hal ini merupakan bentuk pengamalan perintah Allah dalam firman-Nya:
“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya, sungguh Dia Maha Penerima Taubat.” (an-Nashr: 3)

Nasihat

Maka sudah sepantasnya bagi kita sebagai seorang muslim, untuk memperbanyak ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan kepada kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya baik di masa muda terlebih saat lanjut usia. Semoga Allah mematikan kita semua dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bish shawab
Penulis: Ustadz Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi




Selasa, 11 Oktober 2016

Jalan Selamat (Firqah An Najiyah)
Pembaca, di tengah badai perpecahan umat Islam hal terpenting yang perlu dipelajari adalah mengetahui jalan yang selamat. Saatnya kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya manakala terjadi perselisihan. Menjadi golongan yang selamat tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Hal tersebut membutuhkan kesungguhan dan kejujuran untuk mengamalkan dalil-dalil yang menjelaskan golongan yang selamat.

Mengaku menjadi golongan selamat mungkin bisa menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, bisa jadi ada yang menganggap tulisan ini dibuat dalam rangka merasa paling benar sendiri. Tidak, justru melalui tulisan ini, kita akan bersama-sama secara objektif mengenal siapakah golongan yang selamat. Sebab, objektif itu dengan merujuk kepada dalil. Di tengah maraknya berbagai kelompok yang mengaku paling benar, maka di saat itulah kita harus mengembalikan permasalahan kepada sumbernya. Allah berfirman,

يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الر سول وأولى الأمرمنكم فإن تنز عتم فى شىء فردوه إلى الله والر سول

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam), serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.S. An-Nisa:59)

Pembaca, Ibnu Katsir menjelaskan tafsir firman Allah,

ولو شاء ربك لجعل الناس أمة و حدة ولايزالون مختلفين . إلامن رحم ربك

“Kalau saja Rabb-mu mau, Dia pasti akan menjadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi mereka sendiri senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (Q.S. Hud:118-119).

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa perselisihan itu sudah menjadi sunnatullah. Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian. Merekalah yang selamat dari perselisihan tersebut. Yaitu, orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Siapakah mereka? Ibnu Katsir menuturkan, mereka adalah para pengikut rasul, yang berpegang teguh dengan agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إن اليهود اقترقت على إحدى وسبعين فرقة, وإن النصارى افترقوا على ثنتين وسبعين فرقة, وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ,كلهافى النارإلا فرقة واحدة.قالوا: ومن هم يا رسول الله؟ قال:((ما أنا عليه وأصحابي))
.
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu saja .” Para Shahabat bertanya, “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam? Beliau menjawab “Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.” [H.R. At-Tirmidzi, Al Hakim].

Tidak hanya menjelaskan ketetapan Allah yang terjadi di akhir zaman, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam juga memberikan jalan keluar. Beliau menjelaskan solusi di tengah menjamurnya berbagai kelompok. Yaitu dengan munculnya golongan yang selamat. Golongan yang selamat tersebut sering di sebut dengan al-firqah an najiyah atau ath thaifah al manshurah. Siapakah mereka? Apakah kita termasuk di antara mereka? Simak penjelasan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

ما أنا عليه وأصحابي

“Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.”

Sehingga, ciri-ciri golongan yang selamat adalah orang-orang yang mengembalikan seluruh cara beragamanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam dan para Shahabat. Mereka disebut dengan salafush-shalih (para pendahulu yang shaleh). Dalam seluruh aspek kehidupannya, ia merujuk kepada para salaf. Dalam bidang akidah, keyakinan, ibadah, muamalah, akhlak, manhaj, semuanya dikembalikan kepada prinsip salaf. Abdullah bin Mas’ud menafsirkan al jama’ah,”Segala sesuatu yang mencocoki kebenaran, walaupun kamu seorang diri.”

***

Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah nasihat kepada para shahabat. Nasihat tersebut begitu dalam sehingga membuat mata mengucurkan airnya dan menjadikan hati bergetar. Salah seorang Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam, seolah nasihat yang akan anda sampaikan adalah nasihat perpisahan. Apa yang anda pesankan untuk kami, wahai Rasul?” Beliau pun kemudian memberi nasihat.

Kata Beliau, “saya wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, kemudian taat kepada pemimpin kalian, sekalipun pemimpin tersebut berasal dari kalangan budak Habasyah.” Setelah itu beliau menceritakan tentang kondisi akhir zaman, “Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat itulah, kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk.”

Beliau menegaskan lagi, “Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Ungkapan ini bermakna agar kita memegang kuat sunnah tersebut seperti gigi geraham. Yaitu, sebuah gigitan yang begitu kuat dan tidak terlepas. Setelah itu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti, Jauhilah amalan-amalan yang diada-adakan! Sebab, segala amalan yang diada-adakan itu merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].

***

Pembaca, hadits-hadits di atas sebagai tolok ukur pengakuan seseorang di atas kebenaran. Kebenaran pengakuan tersebut dibuktikan dengan sikapnya. Jikalau ia mengembalikan segala permasalahan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam (Sunnah) sesuai pemahaman shahabat, maka pengakuannya benar. Jika ternyata tidak seperti itu, maka pengakuannya hanya sekadar di lisan saja.

Satu hal yang perlu di garis bawahi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam menggandengkan sunnah beliau dengan pemahaman para Shahabat. Artinya, bias jadi sebuah kelompok berslogan Al Qur’an dan Sunnah namun ternyata sesuai pemahaman tokoh dan pendiri kelompok tersebut. Tidak cukup seseorang menguasai bahasa Arab saja untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Ia masih membutuhkan penjelasan yang dating dari orang-orang di mana Al Qur’an dan Sunnah tersebut turun, yaitu para Shahabat.

Untuk itu, bagi Anda yang mendamba kebenaran, wajib untuk belajar ilmu. Dengan ilmu tersebut akan diketahui mana yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang bukan. Menuntut ilmu bisa dengan duduk di majelis ilmu, membaca buku, bulletin, majalah, atau mendengar kajian dari CD dan Kaset. Semoga kita semua dimudahkan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama. Wallahu a’lam. [Ustadz Abu Abdillah Majdi].

Sumber: Di kutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60 vol. 05 1437H-2016M hal: 16-20.

Sabtu, 08 Oktober 2016

 MENGANJURKAN KEPADA ANAK UNTUK GIAT BERAMAL DAN MENINGGALKAN MALAS
🔑🌻🗂 Faidah Tarbiyah Anak

عن أنس بن مالك قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا خرج لحاجته أجيء أنا وغلام ومعنا إداوة من ماء يعني يستنجي به

✒️_Dari Anas bin Malik (bin an-Nadhor al-Anshoriy an-Najjaariy berkunyah Abu Hamzah al-Madaniy meninggal di Bashroh) ibunya bernama Ummu Sulaim, beliau khodimurrasul (pelayan nabi), sehingga beliau banyak mendapatkan riwayat dan ilmu, dan berkahnya kebersamaan beliau bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, beliau (Anas bin Malik) berkata: "Bahwasannya nabi Shallallahu 'alaihi wasallam apabila keluar untuk menunaikan hajatnya, aku datang bersama seorang ghulam (anak berusia 7-9th dari qabilah al-Anshoriy) bersama kami bejana kecil yang berisi air dan nabi beristinja dengan air tersebut." (Muttafaqun 'alaihi)

📂 Diantara faidah hadits:

❶ Anjuran bagi seseorang untuk menemani orang yang memiliki keutamaan dari sisi ilmu, hikmah dan semisalnya. Karena bersahabat dan duduk bersama dengan orang-orang yang memiliki keutamaan akan memberikan pengaruh baik,
❷ Anjuran berkhidmat (memberikan pelayanan) kepada orang yang memiliki keutamaan,
❸ Seorang anak dibiasakan untuk rajin (giat), dalam hal ini Anas bin Malik membantu nabi, atau hal lainnya seperti membersihkan masjid, halaman, kegiatan membantu orang tua di rumah, melipat pakaian, membantu di dapur dan semisalnya,
❹ Anjuran untuk beristijna dengan menggunakan air dan ini lebih afdhol, lebih bersih serta lebih menghilangkan.

🔬 Disampaikan oleh:
Al-Ustadz Askary bin Jamal hafizhohullah

🗓🕌 Kajian Islam 'Ilmiah ll Risalah Al-Arba'ina Fii Tarbiyatil Aulad ll Ma'had Ibnul Qoyyim Balikpapan

⬇️🔊 Simak selengkapnya di:
http://bit.ly/2cGdy2X
(3,8 MB) - [durasi 22:18]

● ● ● ● ● ●
📝🎨📡 Majmu’ah Tarbiyatul Aulad
📟 Channel http://tlgrm.me/TarbiyatulAulad
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Sabtu, 27 Agustus 2016

Shafiyyah bintu huyay Hembusan Angin Lembut dari Khaibar

Tatkala embun hidayah membasahi hati yang gersang, menjadi sirnalah duka cita dan kepahitan. Kesejukan hadir mengisi relung hati, menumbuhkan benih keluhuran. Seseorang yang Allah kehendaki menerima hidayah Islam, maka sungguh dia telah meraih kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan penuh kebaikan. Demikianlah kiranya takdir yang Allah tetapkan atas seorang hamba, Shafiyyah bintu Huyay. Perjalanan hidupnya ibarat bertaburan intan permata dan menyebarkan wewangian.

Shafiyyah bintu Huyay bin Akhthab an-Nadhiriyyah. Pemilik nasab yang mulia, dari bangsa Bani Israil. Termasuk anak cucu dari garis keturunan Nabi Harun. Ayahnya adalah seorang tokoh Yahudi Bani Nadhir, demikian pula pamannya. Ibunya bernama Barrah bintu Samuel.

Masa kecilnya beliau lalui dalam asuhan keluarga Yahudi di kota Madinah. Hingga Allah persiapkan beliau untuk menerima hidayah Islam. Dalam sebuah kesempatan, Shafiyyah menuturkan tentang sepenggal kisah masa kecilnya.

Shafiyyah kecil, sebelum kedatangan Rasulullah dan para shahabatnya. Tak ada satupun dari anak-anak ayah dan pamannya yang lebih dicintai oleh keduanya daripada Shafiyyah. Setiap kali beliau berjumpa dengan ayah dan pamannya di antara anak-anak mereka yang lain, Shafiyyah pun menyambut keduanya. Maka pastilah mereka berdua mengambil Shafiyyah, bukan selainnya.

Hingga suatu hari, tibalah Rasulullah di Quba’. Berangkatlah Huyay dan Abu Yasir, sang Paman di kegelapan dini hari untuk menemui Nabi. Hingga akhirnya keduanya kembali saat matahari telah tenggelam. Kedua tokoh kaumnya itu datang dalam keadaan lemas. Shafiyyah kecil menyambut ayah dan pamannya sebagaimana yang biasa dilakukannya. Sungguh mengherankan, Shafiyyah tiada dihiraukan oleh keduanya.

Shafiyyah kemudian mendengar Abu Yasir bertanya kepada ayahnya, “Apakah benar dia orangnya?” Berkata Huyay, ”Ya, demi Allah!.” Pembicaraan di antara dua pembesar Yahudi, yang telah sekian lama menanti kedatangan Rasul terakhir. “Apakah engkau mengenalinya dengan sifat dan ciri-cirinya?”, lanjut sang Paman. “Ya, demi Allah!”, jawab Huyay tanpa keraguan. Abu Yasir melanjutkan, “Lalu apa yang ada dalam dirimu?” “Permusuhan terhadapnya, demi Allah, selama hidupku!”, tegas Huyay.

Demikianlah, Shafiyyah menyaksikan betapa ayahnya mengetahui akan kerasulan Muhammad. Bersamaan dengan itu, beliau mendapati pengingkaran ayahnya. Sungguh, kedengkian telah menghalanginya untuk mengimani Muhammad yang Allah pilih dari bangsa Arab, bukan dari bangsa mereka, Yahudi.

Waktu terus berjalan, gadis jelita ini tumbuh dewasa. Seorang wanita yang mengarungi samudera tak bertepi. Shafiyyah akhirnya dinikahi oleh Sallam bin Abil Huqaiq, kemudian sepeninggalnya menjadi istri Kinanah bin Abil Huqaiq. Keduanya termasuk di antara penyair Yahudi sekaligus tokoh kaumnya.

Di malam pengantinnya dengan Kinanah, Shafiyyah bermimpi. Dalam mimpinya, bulan datang dari Yatsrib (Madinah) lalu jatuh di pangkuannya. Dikisahkannya mimpi tersebut kepada Kinanah. Tanpa diduga, dia dengan serta-merta menampar Shafiyyah hingga membekaskan rona kehijauan di wajahnya. “Apakah engkau mendambakan penguasa Yatsrib sebagai suamimu!”, cela Kinanah.
Siapa menyangka, mimpi yang baik itu akan menjadi kenyataan. Tak berselang lama setelah pernikahan mereka, pada peristiwa penaklukan Khaibar, Kinanah terbunuh. Sementara itu, Shafiyyah tertawan sebagaimana para wanita kaumnya.

Sebuah peristiwa besar dalam kehidupan Shafiyyah. Ayahnya telah lebih dulu terbunuh di hadapan Rasulullah pada hari pertempuran dengan Yahudi Bani Quraidzhah. Lalu saat ini, suaminya pun mengalami hal yang sama. Lebih dari itu, Shafiyyah yang selama ini hidup terhormat sebagai seorang putri tokoh Bani Nadhir kini menjadi tawanan. Hitam putih tak lagi berarti. Tak terbayang, goresan-goresan luka begitu menyayat hatinya.

Di hari itu, Bilal membawa Shafiyyah dan seorang wanita lainnya. Dibawanya dua wanita itu mengelilingi mayat-mayat lelaki mereka. Menyaksikan hal tersebut, wanita yang bersama Shafiyyah berteriak-teriak, menampar-nampar wajah dan menaburkan debu ke kepalanya. Sisi yang lain, Shafiyyah tampak lebih tegar.

Tatkala Rasulullah melihat perbuatan wanita Yahudi yang pertama, berkatalah Nabi kepada Bilal, “Telah dicabut belas kasih dari dirimu wahai Bilal, hingga engkau sampai hati membawa dua wanita ini melewati mayat-mayat para lelaki mereka!” Lalu beliau memerintahkan wanita tadi agar dijauhkan.

Betapa banyak manusia yang diuji dengan kegundahgulanaan yang berkepanjangan. Kepiluan justru menutupi kalbunya dari sikap tunduk kepada takdir-Nya.

Setelahnya, Rasulullah memerintahkan agar Shafiyyah didekatkan. Lalu beliau menggiringnya sampai di belakang tubuh beliau, kemudian menutupinya dengan selendang. Para shahabat pun mengetahui bahwa Nabi telah memilih Shafiyyah.

Mulanya, Shafiyyah adalah tawanan yang termasuk pembagian untuk Dihyah al-Kalbi. Namun, dikatakan kepada Rasulullah bahwa hanyalah beliau yang pantas memilikinya. Nabi kemudian memberi ganti kepada Dihyah atas diri Shafiyyah.

Rasulullah seorang yang penuh belas kasih. Demi menyembuhkan duka lara Shafiyyah yang mendalam, beliau pun menikahinya. Sebelumnya, Nabi menawarkan kepada Shafiyyah untuk masuk Islam. Wanita ini pun berislam tanpa merasa berat. Baru kemudian Rasulullah memerdekakannya dan menjadikan kemerdekaannya sebagai mahar pernikahan. Pernikahan yang berlangsung tanpa saksi, sebagai kekhususan bagi Rasulullah. Ketika itu Shafiyyah berusia belum genap 17 tahun.

Pada saat itu, Nabi menjadi orang yang paling dibenci oleh Shafiyyah. Lantaran beliau telah membunuh ayah, paman, serta suaminya. Maka Rasulullah dengan penuh kelembutan mengemukakan bahwa ayahnya telah bersekongkol memusuhi islam dan kaum muslimin. Nabi senantiasa menyampaikan sejumlah alasan. Hingga pada akhirnya, amarah pun larut menjadi cinta. Dalam perjalanan pulang dari Khaibar menuju Madinah, Rasulullah menghabiskan tiga hari mengawali rumah tangga beliau dengan Shafiyyah. Beliau mendapati bekas tamparan di wajah istrinya dan menanyakannya. Shafiyyah pun mengisahkan hal tersebut.

Anas bin Malik mengundang para shahabat untuk menghadiri walimah Rasulullah. Hanya ada kurma, keju, dan mentega tanpa roti ataupun daging. Mereka lalu bertanya-tanya, apakah Shafiyyah ini seorang Ummul Mukminin ataukah budak. Di perjalanan, ternyata Rasulullah membonceng Shafiyyah dan menghijabi beliau. Para shahabat mengetahui dengan itu bahwa beliau adalah istri Nabi.

Akhirnya, sampailah rombongan dari Khaibar tersebut. Setiba di Madinah, Shafiyyah menghadiahkan anting-anting emas yang dipakainya kepada Fathimah dan beberapa wanita yang bersamanya.

Shafiyyah kini berada di tengah rumah tangga nubuwwah. Ketaatan kepada suami telah membingkai kesehariannya sebagai seorang istri salehah. Merajut asa seindah pelangi, seharum bunga kasturi.
Lain halnya dengan sebagian wanita di masa ini. Tak jarang, ia menyakiti suaminya dengan lisan dan perbuatannya. Memercik api, membakar kenangan lama. Perangainya buruk sebanding dengan ketajaman lisannya. Di saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi di kala susah.

Bumi yang luas ini terasa sempit dalam benak sang Suami. Siapa gerangan yang berani atas laknat dari Allah?

Dengan membanggakan kecantikan serta kedudukannya, patuh dan tunduk menjelma menjadi dua kata yang tiada guna.

Suatu ketika, Rasulullah menemui Shafiyyah dan mendapatinya sedang menangis. Nabi pun menanyainya. Rupanya, sampai kepada Shafiyyah bahwa ‘Aisyah dan Hafshah berkata tentangnya, “Kami lebih baik dari Shafiyyah. Kami adalah putri-putri paman Rasulullah dan istri-istrinya!”. Mendengar hal itu, Rasulullah menghibur hati sang Istri seraya berkata, “Tidakkah engkau katakan kepada mereka, bagaimana kalian bisa lebih baik dariku, sementara bapakku adalah Harun, pamanku Musa, dan suamiku Muhammad!”

Demikianlah, kala cemburu melanda. Sesuatu yang lazim terjadi pada setiap wanita. Dalam kenyataannya, sebagian istri belum mampu menyikapi tatkala api cemburu memenuhi sukma. Pelanggaran, pengabaian hak suami, hingga percikan konflik rumah tangga bakal menanti.

Di masa Khalifah ‘Umar, pernah terjadi kedustaan atas diri Shafiyyah. Seorang budak wanita miliknya mendatangi Khalifah dan mengadukan bahwa Shafiyyah masih menyukai hari Sabtu dan menyambung hubungan dengan kaum Yahudi. ‘Umar mengirim utusan, menanyakan hal itu. Berkata Shafiyyah, “Tentang hari Sabtu, aku tidak lagi menyukainya sejak Allah menggantikannya dengan hari Jum’at. Adapun Yahudi, sesungguhnya aku masih memiliki kekerabatan maka akupun menyambungnya.” Shafiyyah lalu bertanya kepada budaknya, “Apa yang membuatmu melakukannya?” Si Budak menjawab, “Setan!” Subhanallah, mendengar jawaban itu, beliau justru membebaskannya.

Inilah Shafiyyah bintu Huyay. Di bulan Ramadhan tahun 50 H, pada masa pemerintahan Mu’awiyah, Shafiyyah mengembuskan napas terakhirnya. Jenazahnya lalu dikuburkan di Baqi’. Semoga Allah meridhainya.

Para pembaca yang mulia, kecantikan serta kedudukan tidak lain hanyalah kesenangan dalam kehidupan dunia. Tetapi, keduanya bukanlah menjadi segala-segalanya dalam timbangan agama.
Kebahagiaan hanyalah didapatkan dengan amalan kebajikan. Karena, para pemilik kebaikan berada dalam surga yang penuh kenikmatan. Dipertemukan dengan Rasulullah beserta kaum mukminin.

Wallahu Ta’ala a’lam bish showaab
Penulis: Ustadz Muhammad Hadi
Sumber:http://buletin-alilmu.net/2016/08/19/shafiyyah-bintu-huyay-hembusan-angin-lembut-dari-khaibar/

Selasa, 12 Januari 2016

Doa Ketika Sedih dan Gelisah

اللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، وَابْنُ عَبْدِكَ، وَابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْم الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجِلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ

“Ya Allah, sungguh aku hamba-Mu, anak hamba-Mu, anak hamba-Mu (yang perempuan), ubun-ubunku di tangan-Mu, telah lewat bagiku hukum-Mu, adil takdir-Mu bagiku. Aku meminta kepada-Mu dengan semua nama yang Engkau miliki, yang Engkau namakan diri-Mu sendiri, atau Engkau ajarkan kepada seorang dari hamba-Mu, atau Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau khususkan dalam ilmu gaib di sisi-Mu, agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya dadaku, pelapang kesedihanku, dan penghilang kegundahanku.”
(HR. Ahmad, 1/391 no. 3527, dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)