Senin, 17 Oktober 2016

KOBARKAN SEMANGAT IBADAH DIUSIA LANJUT
 Rasulullah bersabda,
أَعْذَرَ اللهُ إِلَى امْرِئٍ أَخَّرَ أَجَلَهُ حَتَّى بَلَّغَهُ سِتِّينَ سَنَةً

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.” (HR. al-Bukhari no. 5940 dari shahabat Abu Hurairah)

Para pembaca yang berbahagia. Hendaklah kita sadari bahwasanya keadaan akhir kehidupan seorang hamba di dunia akan sangat menentukan kebahagiaan dan kesengsaraannya pada kehidupan di akhirat kelak.

Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk surga hingga tidak ada jarak antara dia dengan surga melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk neraka hingga diapun masuk ke dalam neraka. Dan sungguh salah seorang di antara kalian akan melakukan amalan penduduk neraka hingga tidak ada jarak antara dia dengan neraka melainkan tinggal sejengkal saja. Kemudian takdir menentukan maka dia pun melakukan amalan penduduk surga hingga diapun masuk ke dalam surga.” (HR. al-Bukhari no. 2969 dan Muslim no. 4781 dari shahabat ‘Abdullah bin Mas’ud)

Maka sudah sepantasnya bagi setiap muslim untuk selalu istiqomah (kontinu) dalam beramal shalih, dan janganlah patah semangat meski telah lanjut usia (tua). Terlebih lagi tatkala usia masih muda, di saat semangat masih berkobar-kobar, jasmani masih sehat dan fikiranpun masih kuat, hendaklah lebih bersemangat lagi untuk memperbanyak amalan shalih, jangan sampai kalah dengan orang yang telah lanjut usia. Dikarenakan kita semua tidak mengetahui kapan ajal akan datang menjemput diri kita. Terkadang ajal menjemput seorang hamba tatkala usia masih muda belia, dan terkadang pula ajal menjemput seorang hamba di saat lanjut usia.

Penyesalan tiada guna akan dirasakan oleh para penghuni neraka kelak, tatkala mereka meminta kepada Allah untuk dikeluarkan dari neraka untuk dikembalikan lagi ke dunia agar bisa beramal shalih. Maka Allah menyatakan,

“Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berfikir bagi orang yang mau berfikir, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan?”
(Fathir: 37)

Para ulama pun berbeda pendapat di dalam menafsirkan kalimat “memanjangkan umurmu”, di antara berbagai tafsiran tersebut adalah: hingga mencapai usia 60th, 80th, 40th dan baligh.

Maka ayat ini menunjukkan bahwa semakin bertambah umur seseorang sudah sepantasnya baginya untuk berfikir, memikirkan masa depannya di akhirat nanti.

Sudah seberapa banyak bekal amal shalih yang akan dia bawa nanti di hadapan Allah? Tidak adakah keinginan baginya untuk menambah bekal tersebut dengan memperbanyak amal shalih?

Dan juga seberapa banyak kemaksiatan yang telah dia lakukan yang akan menjerumuskannya ke dalam jurang api neraka? Tidak adakah keinginan baginya untuk menghapus kemaksiatan tersebut dengan bertaubat kepada Allah? Maka fikirkanlah wahai hamba-hamba Allah sebelum terlambat!

Makna Hadits

Dalam hadits diatas Rasulullah bersabda,

“Allah telah memberikan toleransi kepada seseorang dengan mengakhirkan kematiannya hingga usianya mencapai 60 tahun.”

Dari hadits ini difahami bahwa Allah telah memberikan toleransi usia kepada hamba-Nya hingga mencapai batas maksimal yaitu usia 60 tahun. Sehingga apabila seseorang telah dipanjangkan umurnya hingga mencapai usia 60 tahun maka tiada lagi toleransi atas kebodohannya terhadap ilmu agama. Terlebih lagi kalau dia hidup di tengah-tengah kaum muslimin. Karena dengan rentang usia hingga 60 tahun, hakikatnya Allah memberikan kesempatan yang cukup panjang kepadanya agar dapat menuntut ilmu agama sehingga menjadi orang yang berilmu dari keadaan yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan, untuk kemudian dia amalkan ilmu yang telah dipelajarinya tersebut.

Al-Imam Ibnu Baththal mengatakan, “Dijadikannya usia 60 tahun sebagai batas toleransi, dikarenakan usia tersebut adalah usia yang mendekati kematian dan usia (yang seharusnya) seorang hamba kembali (bertaubat) kepada Allah, khusyu dan mewaspadai datangnya kematian. Maka ini merupakan toleransi demi toleransi sebagai bentuk kelemah lembutan Allah kepada para hamba-Nya hingga mereka pun menjadi orang yang berilmu dari yang sebelumnya diliputi oleh kebodohan.” (Fathul Bari, juz 11, hlm. 240)

Subhanallah (Maha Suci Allah), sungguh betapa besar kasih sayang Allah kepada para hamba-Nya, hingga mereka masih diberikan kesempatan yang panjang untuk memperbanyak amalan shalih dan bertaubat dari berbagai dosa dan kesalahan. Namun sangat disayangkan, betapa sedikitnya manusia yang mau berfikir tentang hal ini.

Berbeda jauh dengan kondisi para salaf (generasi awal umat ini) dahulu, mereka telah mempersiapkan batasan usia tertentu khusus untuk beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh al-Imam Malik, “Aku mendapati para ulama di negeri kami dalam keadaan mereka mencari dunia dan ilmu. Merekapun bergaul dengan masyarakat hingga salah seorang diantara mereka mencapai usia 40 tahun. Maka apabila usia mereka telah mencapai 40 tahun, merekapun akan mengasingkan diri dari manusia dan mulai menyibukkan diri dengan amalan ibadah hingga kematian datang menjemput.” (Syarh Shahih al-Bukhari li Ibni Baththal, juz 10, hlm. 152)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata, “Maka yang wajib bagi seseorang untuk bersemangat (beramal) disaat lanjut usia, memperbanyak ketaatan kepada Allah, terlebih lagi pada perkara-perkara yang diwajibkan oleh Allah (seperti salat lima waktu) dan hendaklah memperbanyak kalimat istighfar (Astaghfirullah) dan tahmid (Alhamdulillah).“ (Syarh Riyadhush Shalihin, jilid 1, hlm. 132)

Batas Usia Umat Muhammad

Rasulullah bersabda,
اعْمَارُ أُمَّتِي مَا بَيْنَ السِّتِيْنَ إِلىَ السَّبْعِيْنَ وَاَقَلُّهُمْ مَنْ يَجُوْزُ ذَلِكَ

 “Usia-usia umatku adalah antara 60 sampai 70 th dan sangat sedikit sekali yang bisa lebih daripada usia tersebut.” (HR. at-Tirmidzi no. 3473 dari shahabat Abu Hurairah)

Al-Imam Ibnu Baththal berkata, “Bahwasanya usia umat Muhammad antara 60 sampai 70 tahun adalah berdasarkan keumuman yang didukung dengan kenyataan, dan bahkan di antara mereka ada yang meninggal sebelum mencapai usia 60 tahun.” (Faidhul Qadir, juz 2, hlm. 15)

Dengan mengetahui hadits yang demikian, maka akan mendorong diri kita untuk segera memperbanyak amal shalih dan segera bertaubat dari kemaksiatan sebelum ajal datang menjemput diri-diri kita.

Hal ini sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah dari shahabat Abu Bakrah sebagai berikut,

أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَحَسُنَ عَمَلُهُ قَالَ فَأَيُّ النَّاسِ شَرٌّ قَالَ مَنْ طَالَ عُمُرُهُ وَسَاءَ عَمَلُهُ

“Bahwasanya ada seorang laki-laki yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapakah manusia yang paling baik?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan baik amalannya’. Kemudian dia bertanya kembali, ‘Siapakah manusia yang paling jelek?’, maka dijawab oleh Rasulullah, ‘Yaitu orang yang panjang usianya dan jelek amalannya’.” (HR. at-Tirmidzi no. 2252 dari shahabat Abu Bakrah)

Keadaan Rasulullah Menjelang Wafat
Sebagai umat Muhammad tentunya lebih pantas bagi kita untuk mengambil teladan dari beliau. Yaitu semangat beribadah kepada Allah di akhir hayat beliau. Menjelang wafatnya yang ditandai dengan turunnya ayat,

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan.” (an-Nashr: 1)

Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut ini di dalam ruku’ dan sujudnya

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي

“Maha suci Allah Rabb kami, dengan memuji Engkau, ampunilah kami. (HR. al-Bukhari no. 775 dan Muslim no. 746 dari shahabat ‘Aisyah)

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa sebelum meninggal, Rasulullah memperbanyak ucapan dzikir berikut di dalam ruku’ dan sujud:
سُبْحَانَكَ وَبِحَمْدِكَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
 “Maha suci Allah dan dengan memuji Engkau, aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 747 dari shahabat ‘Aisyah)

Hal ini merupakan bentuk pengamalan perintah Allah dalam firman-Nya:
“Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampunan kepada-Nya, sungguh Dia Maha Penerima Taubat.” (an-Nashr: 3)

Nasihat

Maka sudah sepantasnya bagi kita sebagai seorang muslim, untuk memperbanyak ibadah baik yang wajib maupun yang sunnah karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Semoga Allah senantiasa memberi kemudahan kepada kita untuk senantiasa beribadah kepada-Nya baik di masa muda terlebih saat lanjut usia. Semoga Allah mematikan kita semua dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam bish shawab
Penulis: Ustadz Abu ‘Abdirrahman Muhammad Rifqi




Selasa, 11 Oktober 2016

Jalan Selamat (Firqah An Najiyah)
Pembaca, di tengah badai perpecahan umat Islam hal terpenting yang perlu dipelajari adalah mengetahui jalan yang selamat. Saatnya kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya manakala terjadi perselisihan. Menjadi golongan yang selamat tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Hal tersebut membutuhkan kesungguhan dan kejujuran untuk mengamalkan dalil-dalil yang menjelaskan golongan yang selamat.

Mengaku menjadi golongan selamat mungkin bisa menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, bisa jadi ada yang menganggap tulisan ini dibuat dalam rangka merasa paling benar sendiri. Tidak, justru melalui tulisan ini, kita akan bersama-sama secara objektif mengenal siapakah golongan yang selamat. Sebab, objektif itu dengan merujuk kepada dalil. Di tengah maraknya berbagai kelompok yang mengaku paling benar, maka di saat itulah kita harus mengembalikan permasalahan kepada sumbernya. Allah berfirman,

يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الر سول وأولى الأمرمنكم فإن تنز عتم فى شىء فردوه إلى الله والر سول

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam), serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.S. An-Nisa:59)

Pembaca, Ibnu Katsir menjelaskan tafsir firman Allah,

ولو شاء ربك لجعل الناس أمة و حدة ولايزالون مختلفين . إلامن رحم ربك

“Kalau saja Rabb-mu mau, Dia pasti akan menjadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi mereka sendiri senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (Q.S. Hud:118-119).

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa perselisihan itu sudah menjadi sunnatullah. Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian. Merekalah yang selamat dari perselisihan tersebut. Yaitu, orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Siapakah mereka? Ibnu Katsir menuturkan, mereka adalah para pengikut rasul, yang berpegang teguh dengan agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إن اليهود اقترقت على إحدى وسبعين فرقة, وإن النصارى افترقوا على ثنتين وسبعين فرقة, وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ,كلهافى النارإلا فرقة واحدة.قالوا: ومن هم يا رسول الله؟ قال:((ما أنا عليه وأصحابي))
.
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu saja .” Para Shahabat bertanya, “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam? Beliau menjawab “Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.” [H.R. At-Tirmidzi, Al Hakim].

Tidak hanya menjelaskan ketetapan Allah yang terjadi di akhir zaman, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam juga memberikan jalan keluar. Beliau menjelaskan solusi di tengah menjamurnya berbagai kelompok. Yaitu dengan munculnya golongan yang selamat. Golongan yang selamat tersebut sering di sebut dengan al-firqah an najiyah atau ath thaifah al manshurah. Siapakah mereka? Apakah kita termasuk di antara mereka? Simak penjelasan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

ما أنا عليه وأصحابي

“Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.”

Sehingga, ciri-ciri golongan yang selamat adalah orang-orang yang mengembalikan seluruh cara beragamanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam dan para Shahabat. Mereka disebut dengan salafush-shalih (para pendahulu yang shaleh). Dalam seluruh aspek kehidupannya, ia merujuk kepada para salaf. Dalam bidang akidah, keyakinan, ibadah, muamalah, akhlak, manhaj, semuanya dikembalikan kepada prinsip salaf. Abdullah bin Mas’ud menafsirkan al jama’ah,”Segala sesuatu yang mencocoki kebenaran, walaupun kamu seorang diri.”

***

Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah nasihat kepada para shahabat. Nasihat tersebut begitu dalam sehingga membuat mata mengucurkan airnya dan menjadikan hati bergetar. Salah seorang Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam, seolah nasihat yang akan anda sampaikan adalah nasihat perpisahan. Apa yang anda pesankan untuk kami, wahai Rasul?” Beliau pun kemudian memberi nasihat.

Kata Beliau, “saya wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, kemudian taat kepada pemimpin kalian, sekalipun pemimpin tersebut berasal dari kalangan budak Habasyah.” Setelah itu beliau menceritakan tentang kondisi akhir zaman, “Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat itulah, kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk.”

Beliau menegaskan lagi, “Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Ungkapan ini bermakna agar kita memegang kuat sunnah tersebut seperti gigi geraham. Yaitu, sebuah gigitan yang begitu kuat dan tidak terlepas. Setelah itu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti, Jauhilah amalan-amalan yang diada-adakan! Sebab, segala amalan yang diada-adakan itu merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].

***

Pembaca, hadits-hadits di atas sebagai tolok ukur pengakuan seseorang di atas kebenaran. Kebenaran pengakuan tersebut dibuktikan dengan sikapnya. Jikalau ia mengembalikan segala permasalahan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam (Sunnah) sesuai pemahaman shahabat, maka pengakuannya benar. Jika ternyata tidak seperti itu, maka pengakuannya hanya sekadar di lisan saja.

Satu hal yang perlu di garis bawahi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam menggandengkan sunnah beliau dengan pemahaman para Shahabat. Artinya, bias jadi sebuah kelompok berslogan Al Qur’an dan Sunnah namun ternyata sesuai pemahaman tokoh dan pendiri kelompok tersebut. Tidak cukup seseorang menguasai bahasa Arab saja untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Ia masih membutuhkan penjelasan yang dating dari orang-orang di mana Al Qur’an dan Sunnah tersebut turun, yaitu para Shahabat.

Untuk itu, bagi Anda yang mendamba kebenaran, wajib untuk belajar ilmu. Dengan ilmu tersebut akan diketahui mana yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang bukan. Menuntut ilmu bisa dengan duduk di majelis ilmu, membaca buku, bulletin, majalah, atau mendengar kajian dari CD dan Kaset. Semoga kita semua dimudahkan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama. Wallahu a’lam. [Ustadz Abu Abdillah Majdi].

Sumber: Di kutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60 vol. 05 1437H-2016M hal: 16-20.