Selasa, 21 Februari 2017

Bersih di luar Busuk di Dalam
Jualan buah, memang berisiko rugi, sebab dari buah yang dijual, ada di antaranya yang nampak bagus dan mulus di luarnya namun jelek dan busuk dalamnya. Mata orang yang sehari-harinya berkecimpung dengan bisnis buahpun bisa jadi tidak menyangka isi buahnya ternyata busuk, apalagi masyarakat yang memang tidak paham seluk beluk buah. Ah, ini mengingatkanku kepada sebagian anak yang pernah bergaul denganku.

Sopan, pendiam, dan murah senyum. Dari luar sih terhitung anak yang baik-baik. eh ternyata di waktu setelahnya terbukti menyimpan berbagai sikap buruk dan perilaku yang tak terpuji. Bak pepatah mengatakan 'Masak di luar, mentah di dalam'. Kelihatan dari tampak luar seperti orang baik-baik, padahal kenyataannya tidak demikian.

SALEH NAMUN THALIH

Sobat muda, ada orang yang penampilan sehari-harinya serba agamis. Dari sisi pakaian, tutur kata, sikap, dan pergaulan nampak mencerminkan kesalehan. Senantiasa menjaga hak-hak Allah dan hak-hak sesama makhluk. Tapi di kesempatan lain, perbuatannya jauh dari ketaatan. Tak takut kepada Allah, bahkan naudzubillah, begitu durhaka terhadap hukum Allah dan membencinya. Barangkali, yang ia nampakkan sekadar ingin dianggap orang lain, atau merasa takut dengan peraturan di lingkungannya bila ia nampakkan sikap aslinya, atau berusaha menutupi kejelekannya agar terhindar dari kemarahan orang tua dan teman-temannya. Inilah bentuk sikap seorang yang saleh di luar namun thalih (buruk) dalam  batinnya.

Kemunafikan dalam sifat Lahiriyah

Sobat muda, hati-hati loh dengan sikap kemunafikan. Ketika bersama manusia dalam keramaian menampakkan dirinya sholeh, namun ketika sendirian, atau ketika bersama seorang yang setipe dengannya, ia jauh berbeda. Ini merupakan sikap nifak yang ashgar (sikap kemunafikan yang belum mengeluarkan dari Islam). Tapi sikap ini adalah jembatan menuju kepada kemunafikan hakiki yang mengantarkan kepada kekafiran. Diawali dengan kemunafikan dari sisi amaliyah, suatu ketika bila menjadi kebiasaan, akan menyeret pula kepada kemunafikan dalam hal keyakinan, naudzubillah min dzalik. Keislaman seseorang akan luntur sedikit demi sedikit dalam keadaan ia tidak menyadari.

Oleh karena itu Al Hasan Al Bashri رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى mengatakan:

مِنَ النَّفَا قِ إِخْتِلَافُ القَلْبِ وَاللِّسَانِ, وَاخْتِلَافُ السِّرِّ وَالعَلَانِيِّةِ , وَاخْتِلَافُ الذُخُوْلِ وَالخُرُوْجِ

"Di antara tanda kemunafikan adalah berbeda antara hati dan lisan, berbeda antara sesuatu yang tersembunyi dan sesuatu yang nampak, berbeda antara yang masuk dan yang keluar. " (Jaami'ul 'Ulum Wal Hikam, 2/490)

Inilah bentuk kemunafikan ringan yaitu dengan adanya perbedaan antara yang nampak dan yang tersembunyi yang dapat menyeret kepada kemunafikan yang berat. Sobat Muda, sebagian ulama salaf juga menyatakan

خُشُوْعُ الِّنْفَاقِ أَنْ تَرَى الجَسَدَ خَا شِعًا, وَالقَلْبُ لَيْسَ بِخَاشِعٍ 

"Khusyuk yang munafik, adalah ketika jasad terlihat Khusyuk. Namun hati tak ada kekhusyukan." (Jami'ul 'Ulum wal Hikam, 2/490)

 Jadi sobat muda, yang dia nampakkan adalah kekhusyukan sholat, namun hatinya mengembara ke berbagai macam hal di luar Sholat. Hati tidak sejalan dengan lahiriyahnya. Umar pernah berkhutbah di atas mimbar, lantas beliau mengatakan, 

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ المَنَافِقُ العَلِيْمُ, قَالُوْ:كَيْفَ يَكُوْنُ المَنَا فِقُ عَل\يْمً؟ قَالَ: يَتَكَلَّمُ بِالْحِكْمَةِ , وَيَعْمَلُ بِالجَوْر , أَوْ قَالَ : المَنْكَرِ 

"Yang aku khawatirkan pada kalian adalah orang munafik yang berilmu." Para sahabat lantas bertanya, "Bagaimana bisa ada orang munafik yang berilmu?" Umar menjawab, "Ia berkata perkataan hikmah, namun sayangnya ia melakukan kemungkaran." Sahabat Hudzaifah pun mengatakan, 

الَّذِيْ يَصِفُ الإِيْمَانَ وَلَا يَعْمَلُ بِهِ 

"Ia menyifati diri beriman namun tak beramal."

Amalan merupakan bagian dari iman. Dengan ini, para ulama menjadikan pengakuan keimanan tanpa amalan sebagai tanda-tanda kemunafikan. Nah sobat muda, dengan definisi definisi ini masing-masing kita dapat menilai keadaan diri kita sendiri. 

LEBIH BAIK NAKAL TAPI JUJUR DARIPADA BAIK TAPI MUNAFIK?

 "Lebih baik nakal tapi jujur, ketimbang Alim tapi Munafik". Menurutku kata-kata di atas ada benernya. Nakal tapi jujur, karena banyak orang yang tau itulah letak kejujurannya. Tidak MUNAFIK. Sedang yang Alim tapi Munafik itu tidak jujur. Membohongi diri sendiri dan orang lain. Supaya apa? ya supaya keliatan BAIK aja di depan orang banyak. Cuma KELIATAN aja ya, bukan BENERAN BAIK! kalo aku mending jadi yang terasing karena nakal daripada hidup dalam KEMUNAFIKAN. Hihi."

Sobat muda, komentar ini cukup menggelitik. Seakan kalimat ini melegalisasi akan bolehnya kita berbuat "nakal" asalkan jujur. Yang penting tidak munafik. Benarkah yang seperti ini? Sobat muda, tak ada dalam kamus manapun nakal mesti dibawa pada makna kebaikan. Bahkan nakal mesti dibawa pada makna negatif. Bisa bermakna melanggar aturanlah, tidak memiliki kesopananlah, berbuat buruk, menzalimi dan berbagai makna jelek lainnya. Jadi bagaimana pun juga, nakal pasti bermakna kurang baik. nah, kalo mau membandingkan, pilih mana, antara nakal tapi jujur atau baik tapi munafik? Jawabnya ini tidak baik, itu juga tidak baik. Tidak boleh kita memilih salah satunya, toh Allah menyuruh kita untuk menjadi baik lahiriahnya dan batinnya. Jadi yang baik dalam sifat lahiriyahnya sekaligus sifat batiniyahnya, itulah yang terbaik. Allah telah berfirman;

 "Mereka itu tidak sama, di antara Ahli kitab itu golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud sholat malam. Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada kebaikan, dan mencagah dari yang mungkar, dan bersegera mengerjakan pelbagai kebajikan; mereka itulah termasuk orang yang sholeh."(Qs. Ali Imran 113-114)

Nah sobat muda, jelas bukan dalam ayat ini bagaimana Allah menyifati seorang yang sholeh dengan menggabungkan antara  amalan batin (keimanan) dengan amalan lahiriyahnya. Dalam ayat lain Allah Jalla wa ala, berfirman: 

وَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَمِلُوْا الصَّلِحَتِ لَنُدْ خِلَنَّهُمْ فِى الصَّلِحِيْنَ

"Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh benar-benar akan kami masukkan mereka ke dalam (golongan) orang-orang yang sholeh."(Qs. Al Ankabut:9)

Jadi, tidak bisa dikatakan sholeh sampai mau menggabungkan antara keimanan yang merupakan amalan batin dengan amal anggota badan yang nampak. Jadi, nggak benar seorang yang mengatakan 'yang penting hatinya' padahal ahli maksiat, nggak benar orang mengatakan 'yang penting hatinya berjilbab' padahal dia wanita yang tidak suka berjilbab, 

Oleh karenanya jasadnya harus selaras dengan hati, dan sebaliknya. Ingat sobat bagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassalam mengaitkan antara jasad dengan hati seseorang dalam sabdanya yang artinya, 
"Sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging," kata Nabi, "Bila ia baik, akan baik seluruh jasadnya. Dan bila ia rusak, akan rusak pula seluruh jasadnya. Ketahuilah segumpal daging itu adalah hati." (HR. Bukhari - Muslim)

Nah, sobat muda sudah siapkan memperbaiki kualitas lahir dan batin kita? [Ustadz Hammam]

Sumber: "Dikutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60  vol.05 1437H-2016M (hal 99-102)."





 


Sabtu, 07 Januari 2017

Fatwa Ganti Rugi dari Asuransi
Pertanyaan:

Apa hukum asuransi mobil dalam kasus kecelakaan. Apabila terjadi kecelakaan, sementara pihak kedua sebagai penyebabnya, aturannya, saya mendapat ganti rugi, apakah boleh saya mengambilnya?

Jawab:

Asuransi mobil termasuk asuransi bisnis yang haram. Karena adanya unsur riba, penipuan, ketidakjelasan, dan selainnya dari bentuk pembolehan pada perkara yang haram. Anda tidak boleh mengambil asuransi sesuai dengan apa yang ditetapkan peraturan. Dan siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah subhanahu wata’ala, Allah subhanahu wata’ala pasti akan menggantinya yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا ,وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ

“Siapa yang bertakwa kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan keluar baginya. Dan akan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangka.” [Q.S. Ath Thalaq:2-3].

Wa billahit taufiq wa shalallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa aalihi wa shahbihi wa sallam.
[Al Lajnah Ad Daimah Lil Buhutsi Al ‘Ilmiyati Wal Ifta’].

Sumber: Fatwa Ulama
Wajibnya Menyusui Buah Hati
Pembaca Tashfiyah, ada kewajiban yang mesti ditunaikan saat seorang ibu mendapat anugerah anak. Kewajiban itu adalah memenuhi hak menyusui bayinya hingga masa yang telah ditentukan. Sayangnya banyak dari para ibu muslim yang tidak perhatian dengan kewajiban ini. Dengan alasan yang tidak syar’i banyak dari para ibu yang meninggalkan hak penyusuan anaknya.

Padahal Allah telah berfirman memerintahkan para orang tua untuk menunaikan susuan sebagai hak sang anak dalam firman-Nya yang artinya, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” [Q.S. Al Baqarah:233]

Pembaca Tashfiyah, kita tentu tahu bahwa Allah telah menetapkan gizi dan makanan si anak melewati air susu ibunya. Sehingga air susu sang ibu adalah hak si anak untuk keberlangsungan hidupnya. Sang ibu semestinya menunaikan hak si anak. Walau begitu, sang ibu tidaklah dipaksa untuk menyusui bayinya. Boleh bagi orang tua untuk memenuhi kebutuhan susu anaknya dengan menyewa seorang wanita agar menyusuinya atau dengan model penyusuan lainnya. Tentu bila ada alasan yang dibenarkan syariat akan hal itu.

Akan tetapi kewajiban ibu menyusui sang anak menjadi wajib baginya apabila sang anak tidak mau menerima selain ASI ibunya, atau tidak ada kemampuan bagi sang ayah untuk membayar seorang wanita agar menyusui anaknya atau alasan syari lainnya. Bila tidak diberikan, akan memudharati sang anak. Saat itulah sang ibu wajib menunaikan kewajibannya.

Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bermimpi, dan mimpi Rasul adalah wahyu. Beliau bersabda tentang sebagian peristiwa yang beliau lihat dalam mimpi tersebut:

… فَإِذَا أَنَا بِنِسَاء تُنْهَشُ ثَدْيَهُنَّ الْحَيَاتُ فَقُلْتُ: مَا بَالُ هَؤُلَاءِ؟ فَقَالَ: هَؤُلَاءِ اللَوَاتِيْ يَمْنَعْنَ أَوْلَادَهُنَّ أَلْبَانَهُنَّ

“Tiba-tiba aku melihat para wanita yang payudara-payudara mereka dicabik-cabik ular yang ganas. Maka aku bertanya, ‘Kenapa mereka?’ Malaikat menjawab, ‘Mereka adalah para wanita yang tidak mau menyusui anak-anaknya (tanpa alasan syar’i).’” [H.R. Al-Hakim lihat dalam Ash Shahihah karya Al Albani dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullaah dalam Al-Jami’ush Shahih berkata, “Hadits ini shahih dari Abu Umamah Al-Bahili.”]

Pembaca Tashfiyah, demikianlah ancaman yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para wanita yang tidak mengindahkan kewajiban penyusuan anaknya. Oleh karena, bagi para ibu, hendaknya bersungguh-sungguh dalam memerhatikan hak-hak anaknya. Janganlah bermudah-mudahan melimpahkan tanggung jawab ini kepada wanita lain, atau dengan memberikan air susu pengganti padahal ia mampu memberikan ASI kepada anaknya. Mereka adalah amanah atas para orang tua yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak. Wallahul muwaffiq.

[Ustadz Hammam]
Sumber: http://tashfiyah.com/wajibnya-menyusui-buah-hati/

Kamis, 27 Oktober 2016

SIFAT WANITA SALEHAH

Pembaca Tashfiyah yang dirahmati Allah, setelah kemarin kita mengetahui bahwa seorang istri memiliki kewajiban untuk berkhidmat kepada suaminya, maka kali ini kami akan sampaikan beberapa sifat yang perlu dimiliki oleh seorang istri. Sifat-sifat mulia yang akan mengantarkan dirinya menjadi seorang istri yang salehah.

Pertama, dia akan senantiasa membantu suaminya dalam kebaikan. Membantunya untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Sementara kebanyakan wanita melalaikan hal ini. Sebagian besar mereka tidaklah mendukung suaminya untuk belajar, namun justru menyibukkan para suami untuk perkara-perkara yang lain.

Kedua, membantu suami untuk zuhud terhadap dunia serta berlomba untuk mendapatkan akhirat.

Ketiga, membantu suami untuk menegakkan sholat malam.

Keempat, membantu suami untuk mendapatkan rezeki yang halal serta menjauhi rezeki yang haram. Seperti suap-menyuap, harta riba atau mencari rezeki dengan cara yang tidak dibenarkan oleh syariat. Perlu kita ketahui, rezeki yang halal akan mendatangkan kebahagiaan serta keberkahan dari Allah, walaupun jumlahnya sedikit. Terlebih lagi rezeki yang halal akan melapangkan dada, memperbaiki qalbu, dan tentunya mencocoki perintah Allah untuk bekerja dan mendapatkan penghidupan yang baik.

Kelima, membantu suami untuk berakhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang rendah. Hal ini dalam rangka mencontoh Nabi Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam.

Keenam, membantu suami agar senantiasa memiliki sikap sabar dan syukur. Karena seorang mukmin yang baik , dalam satu keadaan bisa jadi ia bersyukur, dan bisa jadi ia bersabar. Apabila mendapatkan cobaan, dia akan bersabar. Dan tatkala mendapat kenikmatan dia akan bersyukur.

Ketujuh, membantu suami untuk menyambung hubungan kekerabatannya, untuk berbakti kepada orang tua, serta mengingatkan mereka apabila terjatuh dalam kesalahan. Kesimpulannya, wanita salehah adalah mitra yang baik bagi suaminya dalam ketaatan kepada Allah.

Kedelapan, bersyukur kepada suaminya, serta mendoakan kebaikan bagi suaminya. Waspadalah, jangan sampai seorang istri tidak mengakui kebaikan-kebaikan suaminya. Karena hal itu termasuk perbuatan kekufuran yang dilarang.

Kesembilan, tidak mencela suami. Bahkan apabila dibutuhkan, ia menutup mata (tidak menghiraukan ) pada beberapa kekeliruan suami. Hendaknya seorang istri bersikap lembut, karena Allah itu maha lembut dan menyukai kelembutan. Sementara apabila seorang istri banyak mencela suaminya, tentu hal itu akan mengakibatkan pertengkaran dan permusuhan diantara mereka. Yang kemudian akan berakibat berkurangnya rasa cinta di antara mereka.

Kesepuluh, memerhatikan kecemburuan suami. Karena betapa banyak terjadi permasalahan antara suami istri yang disebabkan karena istri tidak memerhatikan bila suaminya cemburu. Misalnya suami cemburu apabila istrinya keluar rumah, atau cemburu apabila istrinya menerima telepon dari seorang yang tidak dikenal. Maka pada keadaan-keadaan demikian, istri harus pandai bersikap dengan mengutamakan perasaan suaminya. Terlebih lagi beberapa laki-laki memiliki sikap cemburu yang besar terhadap istrinya.

Demikianlah beberapa sifat wanita salehah, semoga bermanfaat bagi kita para wanita dalam menjalankan tugas sebagai seorang istri. Allahu a’lam bish shawab. (Ustadzah Ummu Umar).

Sumber: [Dikutip dari Tashfiyah edisi 60 Vol.05 1437H-2016M hal 106-107]

Kamis, 20 Oktober 2016

WASPADA TERHADAP DOSA
Kehidupan hati merupakan syarat mutlak tumbuh kembangnya keimanan dalam kalbu. Jika hati diibaratkan dengan tanah dan iman dipermisalkan dengan pepohonan, maka hati yang hidup merupakan tanah subur. Pohon iman yang ada di dalamnya akan tumbuh dengan baik. Sebaliknya, hati yang mati bak tanah gersang yang pepohonan sulit tumbuh di dalamnya. Hidup dan matinya hati erat kaitannya dengan ketaatan dan kemaksiatan, amal kebaikan dan kejelekan. Dengan ketaatan dan amal kebaikan, hati akan hidup. Sebaliknya, hati menjadi mati jika penuh dengan kemaksiatan dan dosa. 

Pembaca, semoga Allah senantiasa merahmati kita semua. Jangan dibayangkan bahwa matinya hati disebabkan karena dosa-dosa besar saja. Bahkan, dengan sebab dosa-dosa kecil hati juga bisa kehilangan nafas kehidupannya. Oleh karena itu, jangan sampai kita meremehkan dosa kecil.

Pembagian dosa menjadi besar dan kecil kadang menipu sebagian orang sehingga membuat ia cenderung meremehkan dosa kecil. Ah, itu kan dosa kecil, dalam pandangannya. Sehinga, seolah “tidak mengapa” untuk sedikit dikerjakan. Apakah benar demikian?

Macam-macam dosa

Para ulama berbeda pendapat tentang pembagian dosa. Sebagian ulama memandang bahwa dosa terbagi menjadi besar dan kecil. Pembagian ini tidak berarti bahwa tidak mengapa mengerjakan dosa kecil. Tidak pula bermakna bahwa larangan untuk mengerjakan dosa kecil lebih ringan dibandingkan dosa besar.

Ulama yang lain berpendapat tidak adanya pembagian dosa menjadi besar dan kecil. Besar atau kecil, tetap dianggap dosa, karena sama-sama melanggar larangan Allah. Sehingga, seseorang wajib untuk waspada dari semua jenis dosa.

Pembaca, mari kita ikuti pembahasan berikut, semoga menjadi tambahan ilmu bagi kita semua, kemudian bisa diamalkan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kriteria Dosa besar dan Kecil

Ada banyak ragam definisi dan kriteria tentang dosa besar yang dikemukakan oleh para ulama’. Di antaranya, dosa besar adalah segala larangan yang disertai ancaman berupa laknat, murka, marah atau siksaan. Adapun larangan yang tidak disertai dengan ancaman-ancaman tersebut maka disebut dosa kecil.

Pendapat lain bahwa dosa besar adalah dosa yang apabila dikerjakan maka pelakunya berhak mendapatkan hukuman had di dunia dan ancaman di akhirat. Sedangkan dosa yang tidak mendapatkan hukum had di dunia dan tidak mendapatkan ancaman di akhirat adalah dosa kecil. Ada pula yang menyatakan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang pelakunya dilaknat oleh Allah dan rasul-Nya.

Besar atau kecil, tetap dosa!

Besar maupun kecil, sebuah pelanggaran itu tetaplah dosa. Ditinjau dari kelancangannya kepada Allah dan penyelisihannya terhadap perintah-Nya, semua dosa adalah besar. Sehingga sisi pandangnya adalah pada Dzat yang dimaksiati perintah-Nya, Yang dilanggar keharaman-Nya.
Dengan demikian semua dosa itu tergolong sebagai dosa besar, karena memiliki dampak kerusakan yang sama.

Kenapa? Karena dosa-dosa itu sama sekali tidak mendatangkan pengaruh dan mudharat kepada Allah. Sehingga semua dosa jika ditinjau dari siapa yang ditentang, maka tidak ada satu dosa yang lebih besar dibandingkan dosa lainnya.

Jadi, semuanya adalah bentuk kemaksiatan dan penentangan terhadap Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa yang lain.

Segala jenis kemaksiatan juga mengandung bentuk perendahan dan penghinaan terhadap perintah atau larangan dan juga melanggar keharaman Allah. Dari sisi ini tidak ada perbedaan antara satu dosa dengan dosa lainnya.

Sehingga dikatakan, “Janganlah seorang hamba melihat besar atau kecilnya sebuah dosa akan tetapi hendaknya ia melihat pada kedudukan, ketinggian dan keagungan Dzat yang ia maksiati, yaitu Allah.”

Waspada terhadap dosa

Para pembaca yang semoga dirahmati Allah. Sebagaimana kita ketahui bahwa tujuan Allah menciptakan jin dan manusia adalah untuk beribadah hanya kepada-Nya semata (menauhidkan-Nya). Sebagaimana firman-Nya,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah hanya kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Tauhid, itulah puncak tujuan hidup manusia yang digariskan Allah. Sehingga segala sesuatu yang menyelisihi tujuan tersebut adalah dosa. Semakin jauh seseorang dari tujuan penciptaannya (menauhidkan Allah), ia semakin jatuh ke dalam dosa.

Sehingga, kesyirikan (lawan dari tauhid) itu adalah dosa yang amat besar. Sebab, segala sesuatu yang paling bertentangan dan paling menyelisihi tujuan ini adalah dosa besar yang paling besar. Tingkatan dosa tersebut sesuai dengan perbedaan kadar pertentangan dan penyelisihan terhadapnya. Sebaliknya, segala sesuatu yang paling mencocoki tujuan ini maka hal tersebut adalah kewajiban yang paling wajib dan ketaatan yang paling utama.

Dosa kecil bisa menjadi besar

Pembaca, tidak disadari, dosa kecil terkadang bisa menjadi besar. Ada banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi. Di antaranya, bila dosa kecil tersebut dilakukan secara terus-menerus. Faktor berikutnya, ia meremehkan tabir penutupan dosa dari Allah. Terkadang Allah menutupi maksiat seseorang dari pengetahuan manusia untuk memberi kesempatan kepadanya agar segera bertaubat dan memperbaiki diri. Namun sangat disayangkan, hal ini tidak jarang membuat seorang pendosa tertipu. Sehingga ia kembali mengulangi dosa tersebut. Ia baru akan berhenti setelah manusia mengetahui kebobrokan dirinya.

Nah, seseorang yang meremehkan tabir yang diberikan Allah terhadap dosanya, dan meremehkan penangguhan-Nya terhadapnya akan menjadikan dosa tersebut menjadi semakin besar. Faktor lainnya adalah bangga dan menceritakan dosa-dosa tersebut kepada orang lain. Nabi bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ، وَإِنَّ مِنَ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ الْعَمَلَ بِاللَّيْلِ، ثُمَّ يُصْبِحُ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ، فَيَقُولَ: يَا فُلَانُ، عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا؛ وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ اللهُ عَلَيْهِ، وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ

 “Semua umatku dimaafkan kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan maksiat. Termasuk terang-terangan dalam bermaksiat adalah seseorang berbuat maksiat pada malam hari, lalu keesokannya Allah menutupi kesalahan tersebut, tetapi dia mengatakan, ‘Wahai Fulan, tadi malam aku melakukan ini dan itu.’ Pada malam hari Allah menutupi kesalahannya, tetapi keesokannya dia sendiri yang menyingkap tabir Allah dari dirinya.” (HR. al-Bukhari 6069 dan Muslim 2990 dari shahabat Abu Hurairah)

Faktor lain yang menjadikan sebuah dosa kecil menjadi besar adalah dosa kecil tersebut dilakukan oleh orang alim yang dijadikan teladan.

Kalau diketahui bahwa dosa kecil tersebut dilakukan oleh sang alim, lalu diikuti oleh orang lain maka ketika itu berubahlah dosa tersebut menjadi dosa besar.  Sekalipun dia telah mati, kejelekannya terus menyebar di penjuru dunia.

Dosa para ulama berlipat ganda manakala ditiru orang lain, sebagaimana kebaikan mereka pun berlipat ganda manakala diteladani orang lain.

Hendaknya seorang alim bersikap tengah dalam hal penampilan dan penggunaan harta. Hanya saja, seyogianya dia cenderung sederhana karena manusia senantiasa memerhatikan dirinya.

Nilai sebuah dosa lebih besar ketika dilakukan di bula-bulan haram.

Para pembaca rahimakumullah, bulan-bulan haram adalah bulan-bulan yang kehormatannya lebih dibandingkan bulan lainnya. Bulan-bulan haram tersebut ada empat yaitu Muharram, Rajab, Dzulqa’dah dan Dzulhijjah.

Pada bulan-bulan tersebut perbuatan dosa dan kezhaliman lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Sebagaimana amal shalih yang dilakukan pada bulan-bulan tersebut lebih besar pula pahalanya. Allah berfirman,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ…….

 “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kalian menzhalimi diri-diri kalian dalam bulan yang empat itu,…” (at-Taubah: 36)
Al-Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau menukil ucapan seorang tabiin yang bernama Qatadah, “Sesungguhnya perbuatan zhalim yang dilakukan di bulan-bulan haram lebih besar dosanya dibandingkan dengan bulan-bulan selainnya.”
Al-Imam as-Sa’di ketika menafsirkan penggalan ayat

فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

beliau berkata, “Yakni seluruh bulan yang dua belas (sepanjang tahun-pen). Kemudian Allah mengkhusus dari 12 bulan tadi yaitu empat bulan dan menjadikannya bulan-bulan haram, serta menjadikan perbuatan maksiat  padanya lebih besar dosanya dan amal shalih lebih besar pahalanya.”

Kesimpulan

Walhasil, seseorang dituntut untuk merealisasikan tujuan utama dia diciptakan, yaitu beribadah hanya kepada Allah semata. Ia juga harus menjauhkan diri dari segala dosa. Tidak perlu ia melihat, apakah dosa tersebut besar maupun kecil. Sebab, dosa apapun akan menjauhkan pelakunya dari Allah dan dari beribadah kepada-Nya.

Dengan begitu, hatinya akan semakin hidup. Hidup dengan ilmu, dengan ibadah dan amal shalih. Semoga Allah memberi kita taufik untuk selalu menjalankan ketaatan dan menjauhi maksiat. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.

Penulis: Ustadz Abu Abdillah Majdiy

Sumber: Buletin Al Ilmu




Selasa, 11 Oktober 2016

Jalan Selamat (Firqah An Najiyah)
Pembaca, di tengah badai perpecahan umat Islam hal terpenting yang perlu dipelajari adalah mengetahui jalan yang selamat. Saatnya kembali kepada bimbingan Allah dan Rasul-Nya manakala terjadi perselisihan. Menjadi golongan yang selamat tentu bukan sesuatu hal yang mudah. Hal tersebut membutuhkan kesungguhan dan kejujuran untuk mengamalkan dalil-dalil yang menjelaskan golongan yang selamat.

Mengaku menjadi golongan selamat mungkin bisa menjadi sesuatu yang subjektif. Sehingga, bisa jadi ada yang menganggap tulisan ini dibuat dalam rangka merasa paling benar sendiri. Tidak, justru melalui tulisan ini, kita akan bersama-sama secara objektif mengenal siapakah golongan yang selamat. Sebab, objektif itu dengan merujuk kepada dalil. Di tengah maraknya berbagai kelompok yang mengaku paling benar, maka di saat itulah kita harus mengembalikan permasalahan kepada sumbernya. Allah berfirman,

يأيها الذين ءامنوا أطيعوا الله وأطيعوا الر سول وأولى الأمرمنكم فإن تنز عتم فى شىء فردوه إلى الله والر سول

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul (Muhammad Shallahu ‘alaihi wassalam), serta ulil amri di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah urusan tersebut kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul-Nya (As-Sunnah), jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (Q.S. An-Nisa:59)

Pembaca, Ibnu Katsir menjelaskan tafsir firman Allah,

ولو شاء ربك لجعل الناس أمة و حدة ولايزالون مختلفين . إلامن رحم ربك

“Kalau saja Rabb-mu mau, Dia pasti akan menjadikan seluruh manusia sebagai umat yang satu. Akan tetapi mereka sendiri senantiasa berselisih. Kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Rabb-mu.” (Q.S. Hud:118-119).

Dalam ayat diatas, Allah menjelaskan bahwa perselisihan itu sudah menjadi sunnatullah. Namun, pada ayat berikutnya Allah memberikan pengecualian. Merekalah yang selamat dari perselisihan tersebut. Yaitu, orang-orang yang dirahmati oleh Allah. Siapakah mereka? Ibnu Katsir menuturkan, mereka adalah para pengikut rasul, yang berpegang teguh dengan agama. Lebih jelas lagi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda,

إن اليهود اقترقت على إحدى وسبعين فرقة, وإن النصارى افترقوا على ثنتين وسبعين فرقة, وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة ,كلهافى النارإلا فرقة واحدة.قالوا: ومن هم يا رسول الله؟ قال:((ما أنا عليه وأصحابي))
.
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan. Semua golongan akan masuk ke dalam neraka, kecuali satu saja .” Para Shahabat bertanya, “Siapa mereka itu, wahai Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam? Beliau menjawab “Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.” [H.R. At-Tirmidzi, Al Hakim].

Tidak hanya menjelaskan ketetapan Allah yang terjadi di akhir zaman, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam juga memberikan jalan keluar. Beliau menjelaskan solusi di tengah menjamurnya berbagai kelompok. Yaitu dengan munculnya golongan yang selamat. Golongan yang selamat tersebut sering di sebut dengan al-firqah an najiyah atau ath thaifah al manshurah. Siapakah mereka? Apakah kita termasuk di antara mereka? Simak penjelasan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam. Beliau Shallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

ما أنا عليه وأصحابي

“Golongan yang berada di atas prinsipku dan prinsip para Shahabatku.”

Sehingga, ciri-ciri golongan yang selamat adalah orang-orang yang mengembalikan seluruh cara beragamanya kepada Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam dan para Shahabat. Mereka disebut dengan salafush-shalih (para pendahulu yang shaleh). Dalam seluruh aspek kehidupannya, ia merujuk kepada para salaf. Dalam bidang akidah, keyakinan, ibadah, muamalah, akhlak, manhaj, semuanya dikembalikan kepada prinsip salaf. Abdullah bin Mas’ud menafsirkan al jama’ah,”Segala sesuatu yang mencocoki kebenaran, walaupun kamu seorang diri.”

***

Pada suatu hari Rasulullah shallahu ‘alaihi wassalam memberikan sebuah nasihat kepada para shahabat. Nasihat tersebut begitu dalam sehingga membuat mata mengucurkan airnya dan menjadikan hati bergetar. Salah seorang Shahabat berkata, “Wahai Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam, seolah nasihat yang akan anda sampaikan adalah nasihat perpisahan. Apa yang anda pesankan untuk kami, wahai Rasul?” Beliau pun kemudian memberi nasihat.

Kata Beliau, “saya wasiatkan agar kalian bertakwa kepada Allah, kemudian taat kepada pemimpin kalian, sekalipun pemimpin tersebut berasal dari kalangan budak Habasyah.” Setelah itu beliau menceritakan tentang kondisi akhir zaman, “Barang siapa yang hidup sepeninggalku, ia akan melihat perselisihan yang banyak. Di saat itulah, kalian harus berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang diberi petunjuk.”

Beliau menegaskan lagi, “Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian.” Ungkapan ini bermakna agar kita memegang kuat sunnah tersebut seperti gigi geraham. Yaitu, sebuah gigitan yang begitu kuat dan tidak terlepas. Setelah itu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam mewanti-wanti, Jauhilah amalan-amalan yang diada-adakan! Sebab, segala amalan yang diada-adakan itu merupakan perbuatan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”[H.R. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].

***

Pembaca, hadits-hadits di atas sebagai tolok ukur pengakuan seseorang di atas kebenaran. Kebenaran pengakuan tersebut dibuktikan dengan sikapnya. Jikalau ia mengembalikan segala permasalahan kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam (Sunnah) sesuai pemahaman shahabat, maka pengakuannya benar. Jika ternyata tidak seperti itu, maka pengakuannya hanya sekadar di lisan saja.

Satu hal yang perlu di garis bawahi, Rasulullah Shallahu ‘alaihi wassalam menggandengkan sunnah beliau dengan pemahaman para Shahabat. Artinya, bias jadi sebuah kelompok berslogan Al Qur’an dan Sunnah namun ternyata sesuai pemahaman tokoh dan pendiri kelompok tersebut. Tidak cukup seseorang menguasai bahasa Arab saja untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah. Ia masih membutuhkan penjelasan yang dating dari orang-orang di mana Al Qur’an dan Sunnah tersebut turun, yaitu para Shahabat.

Untuk itu, bagi Anda yang mendamba kebenaran, wajib untuk belajar ilmu. Dengan ilmu tersebut akan diketahui mana yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah, mana yang bukan. Menuntut ilmu bisa dengan duduk di majelis ilmu, membaca buku, bulletin, majalah, atau mendengar kajian dari CD dan Kaset. Semoga kita semua dimudahkan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama. Wallahu a’lam. [Ustadz Abu Abdillah Majdi].

Sumber: Di kutip dari Majalah Tashfiyah edisi 60 vol. 05 1437H-2016M hal: 16-20.

Sabtu, 08 Oktober 2016

 Apakah Membaca Hadits Nabi Berpahala?
Ada dalil yang menyebutkan pahala bagi orang yang membaca al- Qur’anul Karim. Apakah orang yang membaca hadits-hadits Nabi juga diberi pahala? Berilah kami fatwa, semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberkahi Anda.

Jawab:
Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab,
“Ya, membaca ilmu (syar’i) seluruhnya ada pahala yang diperoleh. Mengajarkan ilmu dan mempelajari ilmu termasuk jalan al-Qur’an dan jalan as- Sunnah. Di dalamnya terdapat pahala besar.
Ilmu itu diambil dari al-Qur’an dan dari as-Sunnah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ

‘Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya.’[2]
Keutamaan membaca al-Qur’an disebutkan dalam banyak hadits, di antaranya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَفِيْعًا لِأَصْحَابهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

‘Bacalah al-Qur’an, karena dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafaat kepada orang-orang yang membacanya.’ (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَذْهَبَ إِلَى بَطْحَانَوَادِي فِي الْمَدِيْنَةِفَيَأْنِي بِنَاقَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ فِي غَيْرِ إِثْمٍ وَلاَ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ؟ فَقَالُوْا: كُلُّنَا يُحِبُّ ذَلِكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقَالَ: لَأَنْ يَذْهَبَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَيَتَعَلَّمَ آيَتَيْنِ مِنْ كِتَابِ اللهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ نَاقَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ وَثَلاَتٌ خَيْرٌ مِنْ ثَلاَثٍ، وَأَرْبَعٌ خَيْرٌ مِنْ أَرْبَعٍ، وَمِنْ أَعْدَادِهِنَّ مِنَ الْإِبِلِ

‘Apakah salah seorang dari kalian suka pergi ke Bathan—sebuah lembah di Madinah—lalu dia pulang kembali dengan membawa dua unta betina yang besar, tanpa berbuat dosa dan tidak pula memutus hubungan rahim?’  Para sahabat menjawab, ‘Kami semua menyukai hal tersebut, wahai Rasulullah!’ Beliau bersabda lagi, ‘Salah seorang dari kalian pergi ke masjid, lalu mempelajari dua ayat dari Kitabullah, lebih baik baginya daripada mendapatkan dua unta betina yang besar. Jika dia mempelajari tiga ayat, lebih baik daripada tiga unta. Empat ayat yang dipelajari lebih baik dari empat unta. Demikianlah sejumlah yang dia pelajari lebih baik daripada unta dalam bilangan yang sama[3]; atau seperti yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ini menunjukkan keutamaan mempelajari dan membaca al-Qur’an.
Dalam hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu disebutkan,

مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنَ الْقُرْآنِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا

‘Barang siapa membaca satu huruf dari al-Qur’an, dia mendapat satu kebaikan. Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipatnya.’[4]
Demikian pula as-Sunnah ketika dipelajari oleh seorang mukmin. Dia membaca hadits-hadits dan mempelajarinya. Dia akan beroleh pahala yang besar karena hal tersebut termasuk mempelajari ilmu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْجَنَّةِ

‘Siapa yang menempuh satu jalan dalam rangka mencari ilmu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mudahkan baginya jalan menuju surga dengan upayanya tersebut.’ [5]
Ini menunjukkan bahwa mempelajari ilmu, menghafal hadits-hadits, dan mudzakarah (mendiskusikannya) termasuk sebab masuk surga dan selamat dari api neraka.
Demikian pula sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ

‘Siapa yang Allah ingin kebaikan baginya, Allah subhanahu wa ta’ala akan fakihkan dia dalam agama.’ (Muttafaqun ‘alaihi)
Tafaqquh fid din (mempelajari dan mendalami agama) termasuk jalan al- Qur’an dan jalan as-Sunnah. Tafaqquh terhadap sunnah (mempelajari sunnah) termasuk tanda bahwa Allah subhanahu wa ta’ala menginginkan kebaikan bagi si hamba (yang belajar tersebut) sebagaimana halnya tafaqquh al-Quran. Dalil-dalil tentang hal ini banyak, alhamdulillah.” (Kitab Fatawa Nur ‘ala ad-Darb, al-‘Aqidah, hlm. 11—12, pertanyaan no. 3)

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[2]  Dalam hadits Utsman ibnu Affan radhiallahu ‘anhu disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
‘Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.; (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya) –pen.
[3] HR. Muslim
[4] HR. al-Bukhari dalam Tarikhnya, at-Tirmidzi, dll.; dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 3327. –pen.
[5] HR. at-Tirmidzi; dinyatakan sahih dalam al-Jami’ ash-Shahih no. 6298. –pen.
Sebutan ‘Almarhum’
Pertanyaan:
Apakah boleh mengatakan ketika menyebut orang mati   الْمَرْحُومُ فُلَانٌ (Almarhum Fulan) atau غَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ (Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memenuhinya dengan rahmat-Nya) atau انْتَقَلَ إِلَى رَحْمَةِ اللهِ (Dia telah berpindah kepada rahmat Allah subhanahu wa ta’ala)?

Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Kalimat فُلَانٌ الْمَرْحُومُ atau تَغَمَّدَهُ اللهُ بِرَحْمَتِهِ , tidak apa-apa diucapkan, karena pernyataan mereka الْمَرْحُومُ termasuk bab tafa’ul (optimisme, lawan dari pesimis) dan raja’ (berharap), bukan termasuk kabar (berita sebagai suatu kepastian). Jika memang mengucapkan ucapan tersebut karena berharap kepada Allah subhanahu wa ta’ala (agar orang meninggalnya dirahmati), tidak apa-apa[1].

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
[1] Jadi, apabila yang dimaksud dari ucapan tersebut adalah memastikan si mayat dirahmati (pasti dirahmati dan diliputi oleh rahmat Allah subhanahu wa ta’ala), hal ini tidak dibolehkan karena termasuk urusan gaib. Tidak ada yang mengetahuinya selain Allah subhanahu wa ta’ala.

Senin, 01 Juni 2015

Mencintai Allah

Mencintai Allah

Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


Hidup di dunia hanyalah untuk beribadah menghamba kepada Sang Khaliq, untuk itulah kita diciptakan.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Dia Yang Mahasuci diibadahi dengan rasa takut (khauf), berharap (raja’) dan cinta (mahabbah). Tiga rasa ini tidak boleh ada yang hilang salah satunya, ketiganya harus komplet ada pada diri si penghamba.
Untuk khauf dan raja’ akan ada pembicaraan tersendiri di waktu-waktu mendatang, insya Allah. Adapun kali ini, secara ringkas kita akan berbicara tentang mahabbah.

Mencintai Allah subhanahu wa ta’ala yang selanjutnya kita sebut dengan mahabbatullah, bagaimanakah hakikatnya? Apakah diri kita sudah mencintai-Nya dengan semestinya? Ataukah diri kita malah tenggelam dalam mengejar cinta makhluk atau kalbu kita disesaki dengan mabuk cinta kepada makhluk sehingga tidak tersisa tempat untuk-Nya?

Jujur kita akui, kebanyakan dari umur kita telah kita lalui dengan pembicaraan tentang cinta kepada makhluk dan ambisi untuk beroleh cinta makhluk. Ketika cinta kita kepada si makhluk bertepuk sebelah tangan, gayung tiada bersambut, patahlah hati kita, serasa sesak dada kita. Demikianlah cinta dan mencinta makhluk, kita bisa “sakit” karenanya.

Adapun cinta yang selama ini sering kita abaikan dan terluputkan dari pikiran kita, padahal dia merupakan cinta teragung, sungguh tiada membekaskan sakit yang melukai kalbu. Itulah cinta kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak akan patah arang seorang hamba yang mencintai-Nya ketika mengejar cinta-Nya. Karena siapa yang jujur dalam cintanya, Allah subhanahu wa ta’ala pasti akan membalas. Sebuah cinta yang berbuah kemanisan, kelapangan, dan kebahagiaan di dunia dan terlebih lagi di akhirat kelak.

Mahabatullah adalah sebuah kelaziman bagi yang mengaku beriman kepada-Nya, baik dia lelaki maupun perempuan. Bahkan cinta ini termasuk syarat Laa ilaaha illlallah[1] dan merupakan asas atau landasan dalam beramal. (ad-Da’u wa ad-Dawa’, Ibnul Qayyim, hlm. 303) Yang namanya mencinta-Nya bukanlah sekadar pengakuan lisan atau ucapan di bibir saja, namun harus sebagaimana yang dinyatakan-Nya dalam tanzil-Nya,

Katakanlah (ya Muhammad), “Jika benar-benar kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian….” (Ali Imran: 31)

Kata al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah, “Ayat yang mulia ini merupakan hakim pemutus (yang memberikan penghukuman) bagi setiap orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, sementara orang itu tidak di atas thariqah muhammadiyah (yaitu jalan yang ditempuh oleh Rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam). Orang itu dusta dalam pengakuan cintanya sampai dia mau mengikuti syariat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, tunduk pada ajaran nabawiyah dalam seluruh ucapan, perbuatan dan keadaannya, sebagaimana berita yang datang dalam kitab Shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Siapa yang mengamalkan suatu amalan tidak di atas perintah/perkara kami maka amalan itu tertolak.”[2]
 
Karena itulah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“… niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (Ali Imran: 31)
Dengan mencintai-Nya, yang dibuktikan dengan mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalian akan mendapatkan lebih daripada apa yang kalian upayakan yaitu kalian akan mendapatkan cinta- Nya, dan ini lebih agung daripada yang pertama (cinta kalian kepada-Nya), sebagaimana kata sebagian ulama ahli hikmah,

لَيْسَ الشَّأْنُ أَنْ تُحِبَّ، إِنَّمَا الشَّأْنُ أَنْ تُحَبَّ

“Tidaklah penting bagaimana kamu mencinta, yang penting hanyalah bagaimana kamu dicinta.”
Al-Imam al-Hasan al-Bashri rahimahullah dan selainnya dari pendahulu umat ini yang salih berkata, “Ada orang-orang yang mengaku mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, maka Allah subhanahu wa ta’ala uji mereka dengan ayat ini (ayat 31 dari surat Ali Imran). “

Karena itulah, ayat ini dinamakan ayat mihnah/ujian, kata al-Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullah. (Tafsir Ibni Katsir, 2/24—25)

Bila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai kalian maka itu merupakan bukti cinta kalian jujur kepada-Nya. Adapun bukti cinta kalian kepada-Nya adalah ittiba’ (mengikuti) kepada sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ittiba’ tersebut, kalian beroleh buahnya yaitu cintanya Dzat yang mengutus sang Rasul. Bila kalian tidak mau ittiba’ kepada sang Rasul, lalu kalian mengaku cinta kepada-Nya maka cinta kalian tidaklah benar sehingga Dia pun tidak mencintai kalian. (Madarij as-Salikin, 3/20)

Ada sepuluh sebab yang dengannya seorang hamba akan beroleh cintanya Allah subhanahu wa ta’ala sebagaimana disebutkan al-Hafizh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah,
  1. Membaca al-Qur’an dengan tadabbur, memahami maknanya dan apa yang diinginkan dengannya.
  2. Mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan amalan nawafil setelah mengerjakan yang fardhu, karena ini akan mengantarkan kepada derajat dicintai setelah mencintai[3].
  3. Terus-menerus mengingat-Nya dalam seluruh keadaan dengan lisan, kalbu, dan amalan. Bagian yang diperoleh seorang hamba dari cinta-Nya sesuai dengan bagiannya dalam mengingat Dzat yang dicinta.
  4. Mengutamakan apa yang dicintai-Nya daripada apa yang kamu cintai tatkala hawa nafsu sedang bergejolak.
  5. Kalbu berusaha mempersaksikan dan mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta berbolak-balik dalam taman pengetahuan ini.
Siapa yang mengenal Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-perbuatan-Nya, dia pasti akan mencintai Allah subhanahu wa ta’ala, karena itulah kelompok sesat al-mua’thilah dan fir’auniyah serta jahmiyah[4] merupakan perampok atau pembegal jalanan bagi kalbu untuk sampai kepada Dzat yang dicintai.[5]
  1. Menyaksikan dan mengakui kebaikan-Nya dan nikmat-nikmat-Nya yang zahir maupun batin.
  2. Ini yang paling mengagumkan, yaitu hancur luluhnya kalbu secara total di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala, merasa tidak berdaya sama sekali di hadapan-Nya. Tiada tersisa kesombongan sedikit pun karena menyadari diri ini tidak ada apa-apanya sama sekali di hadapan kebesaran dan kekuasaan Sang Khaliq.
  3. Bersepi-sepi (khalwat) dengan-Nya di waktu turun-Nya[6] untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca kalam-Nya, kemudian menutupnya dengan istighfar dan tobat.
  4. Duduk-duduk (bermajelis) dengan para pecinta-Nya, orang-orang yang jujur dalam keimanan mereka, dan memetik buah yang indah dari ucapan mereka sebagaimana buah yang bagus dipilih dari yang selainnya.
  5. Menjauhi segala sebab yang dapat memisahkan kalbu dengan Allah subhanahu wa ta’ala. (Madarijus Salikin, 3/18)
Sebagai penutup, sama kita ingat agar saya, Anda, dan siapa saja dari para hamba janganlah sibuk mencinta dan mencari cinta makhluk, namun mengabaikan untuk mencintai-Nya dan beroleh cinta-Nya.

Sungguh, siapa yang mencintai-Nya dengan jujur, Dia pun akan mencintai si hamba dan menjadikan penduduk langit dan bumi mencintai si hamba, sebagaimana dalam hadits,

إِنَّ اللهَ إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا دَعَا جِبْرِيلَ فَقَالَ: يَا جِبْرِيْلُ، إِنِّي أُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ. قَالَ: ثُمَّ يُنَادِي فِي أَهْلِ الْسَّمَاءِ: إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ. قَالَ: فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ. ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ…

Sungguh, apabila Allah subhanahu wa ta’ala mencintai seorang hamba, Allah memanggil Jibril, lalu berkata, “Wahai Jibril, sungguh, Aku mencintai Fulan maka cintailah dia.” Jibril pun mencintai si Fulan. Kemudian Jibril menyeru kepada penduduk langit, “Sungguh, Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia.” Penduduk langit pun mencintainya. Kemudian diletakkanlah penerimaan (rasa cinta) penghuni bumi kepada si Fulan. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

[1] Tidak diterima dan tidak bermanfaat ucapan Laa ilaaha illlallah seseorang sampai dia mencintai kalimat ini berikut makna yang dikandungnya.
[2] HR. Muslim, dan al-Bukhari membawakannya secara mu’allaq.
[3] Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا افْتُرِضَ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِيْ بَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu amalan yang lebih Aku cintai daripada amalan
yang diwajibkan kepadanya. Dan terus menerus hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan nawafil (sunnah) hingga Aku mencintainya.(HR. al-Bukhari)
[4] Kelompok yang menolak sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala, seluruhnya atau sebagiannya, bahkan ada yang sampai menolak nama-nama-Nya yang husna (mencapai puncak kebaikan).
[5] Mereka yang menolak nama-nama Allah subhanahu wa ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-Nya, bagaimana bisa mencintai-Nya dengan sebenar-benarnya?
[6] Pada sepertiga malam yang akhir, sebagaimana diberitakan dalam hadits yang sahih.

Sumber: http://asysyariah.com/mencintai-allah/