Minggu, 03 September 2017

Adab Makan dan Minum

galeriposterdakwah
Islam adalah dien (agama) rahmat bagi semesta alam. Dien (agama) yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan (kebaikan) bagi manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujjahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satupun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan didalamnya. Termasuk dari keindahan dan kesempurnaan agama Islam adalah adanya aturan-aturan dan adab ketika makan dan minum. Bagaimanakah agama Islam nan sempurna ini mengaturnya?. Pada edisi kali ini kami sajikan pembahasannya secara ringkas sebagai berikut:

Adab-adab ketika menyantap hidangan

 1. Berdo’a sebelum makan 

Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu berdo’a sebelum makan. Padahal lebih ringan daripada sekedar mengangkat sesuap nasi ke mulut dan tidak lebih berat dari menahan rasa lapar.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ: بسم الله, فَإِنْ نَسِيَ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِيْ أَوَّ لِهِ وَآخِرِهِ

“Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia mengucapkan “Bismillah” (Dengan nama Allah), dan bila dia lupa diawalnya hendaklah dia mengucapkan “Bismillah fii awwalihi wa akhirihi” (Dengan nama Allah di awal dan diakhirnya).”{Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/167 no.1513 oleh Asy-Syaikh Al-Albani }

Dalam hadits yang lain dari Shahabat yang membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama 18 tahun, dia bercerita bahwa: “Dia selalu mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila mendekati makanan mengucapkan ‘bismillah’.”{HR. Muslim}

Berdasarkan dalil yang shahih dan sharih (tegas) di atas, menerangkan bahwa membaca ‘bismillah’ ketika makan dan minum adalah wajib dan berdosa bila meninggalkannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

يَاغُلاَمُ,سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ…

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu…”{HR.Al Bukhari dan Muslim}
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Yang benar adalah wajib membaca ‘bismilah’ ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Dan tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satupun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani setan dalam makan dan minumnya.”

Kemudian apakah boleh bagi kita untuk menambah dengan bacaan “Arrahmanirrahim”?
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1/152) mengatakan: “Membaca tasmiyah di permulaan makan adalah ‘Bismillah’ dan tidak ada tambahan padanya. Dan semua hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini tidak ada tambahan sedikitpun. Dan saya tidak mengetahui satu haditspun yang didalamnya ada tambahan (bismillahirrahmanirrahim, pent).”

2. Menggunakan tangan kanan

Makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, dan bila seseorang makan dan minum dengan tangan kiri maka berdosa karena dia telah menyelisihi perintah Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta merupakan bentuk perbuatan tasyabbuh (meniru) perilaku setan dan orang-orang kafir.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah makan dengan tangan kanan dan apabila dia minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena setan apabila dia makan, makan dengan tangan kiri dan apabila minum, minum dengan tangan kiri.”{HR. Muslim}

3. Makan dari arah pinggir dan disekitarnya

Makan dari arah pinggir atau tepi dan memakan apa yang ada disekitarnya (yang terdekat) merupakan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan pada bimbingan beliau terkandung barakah serta merupakan penampilan adab yang baik.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ الطَّعَامُ فَخُذُوْا مِنْ حَافَتِهِ وَذَرُوْا وَسْطَهُ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِيْ وَسْطِهِ

“Jika makanan diletakkan, maka mulailah dari pinggirnya dan jauhi (memulai) dari tengahnya, karena sesungguhnya barakah itu turun di tengah-tengah makanan.”{Shahih Sunan Ibnu Majah no.2650 oleh Asy-Syaikh Al-Albani}

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

يَاغُلاَمُ,سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang ada disekitarmu (didekatmu).”{HR.Al Bukhari dan Muslim}

4. Duduk saat makan

Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentunya hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat duduk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu: “Nabi memiliki sebuah qas’ah (tempat makan/nampan) dan qas’ah itu disebut Al-Gharra’ dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawalah qas’ah tersebut ¬dan padanya ada tsarid (sejenis roti) ¬ mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya: “Duduk apa ini, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seorang yang angkuh dan penentang.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)? Ibnu Baththal mengatakan: “Beliau melakukan hal itu sebagai salahsatu bentuk tawadhu’ beliau.” {Fathul Bari, 9/619}

Al Hafidzh Ibnu Hajar juga menerangkan:”…maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau dengan mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.”{Fathul Bari, }

5. Tidak boleh mencerca makanan

Semua yang kita makan dan minum merupakan rizki yang datang dari Allah subhanahu wata’ala, maka tidak boleh bagi kita untuk menghina ataupun mencerca sedikitpun dari apa yang telah diberikan Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita suatu adab yang mulia ketika tidak menyukai makanan yang dihidangkan sebagaimana dalam hadits:

Dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ, إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُُ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencerca makanan sama sekali. Bila beliau mengiginkan sesuatu beliau memakannya dan bila tidak suka beliau meninggalkannya.”{HR. Al Bukhari dan Muslim}

6. Berdo’a sesudah makan

Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala meridhai terhadap seorang hamba yang makan dan minum, kemudian memuji-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ اْلأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشُّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah betul-betul ridha terhadap seorang hamba yang memakan makanan, kemudian memuji-Nya dan yang meminum minuman lalu memuji-Nya.” {HR. Muslim}

Adapun di antara beberapa contoh do’a sesudah makan dan minum adalah sebagai berikut ini:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ طَعَامًافَقَالَ “الْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلِ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ” غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa memakan makanan dan dia mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini, dan memberiku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku.” Maka akan diampuni dosanya.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبُّنَا

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan berkah. Dia tidak membutuhkan pemberian makanan (karena Dia yang memberi makanan), tidak ditinggalkan dan tidak membutuhkan makanan itu ya Rabb kami.” {HR. Al Bukhari, Tirmidzi dengan lafadznya}

Apakah ada do’a yang lain yang bisa dibaca setelah makan?. Jawabnya ada do’a selain ini dan boleh dibaca selama do’a tersebut benar datangnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Do’a-do’a penutup tersebut merupakan bentuk syukur dan sebagai bentuk mengingat keutamaan Allah subhanahu wata’ala dan rizki-Nya kepada kita.

7. Membasuh tangan sebelum tidur

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غُمَرٌ وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Barangsiapa tertidur dan ditangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Sumber: www.darussalaf.or.idwww.assalafy.org

Minggu, 30 April 2017

Mengisi Hari Jum’at Dengan Amalan-Amalan Istimewa
Keutamaan hari Jum’at bukan suatu yang asing bagi kita. Oleh karenanya, sepantasnya kaum muslimin benar-benar memanfaatkan salah satu waktu yang mulia ini dengan maksimal. Mengisinya dengan amalan-amalan yang memang disyariatkan pada hari tersebut. Mandi jum’at, memakai pakaian shalat yang bagus, mengenakan wewangian, bersegera menuju masjid adalah beberapa amalan rutin yang biasa dikerjakan pada hari Jum’at. Amalan-amalan khusus sebagai bentuk pengistimewaan hari Jum’at yang memang tidak sama dengan hari-hari yang lain.

Namun ada beberapa amalan lain yang disyariatkan pula bagi kita untuk mengerjakannya. Maka untuk edisi kali ini, insya Allah akan kami bahas beberapa amalan-amalan tersebut sebagai pengingat bagi yang lupa dan sebagai tambahan ilmu bagi yang belum tahu.

Para pembaca rahimakumullah, di antara amalan-amalan yang disyariatkan pada hari Jum’at adalah,

Membaca surat as-Sajdah dan al-Insan pada shalat Shubuh.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الجُمُعَةِ فِي صَلاَةِ الفَجْرِ الم تَنْزِيلُ السَّجْدَةَ، وَهَلْ أَتَى عَلَى الإِنْسَانِ حِينٌ مِنَ الدَّهْرِ

 “Dahulu Nabi ketika shalat shubuh pada hari Jum’at beliau membaca surat alif laam miim as-Sajdah dan hal ataa ‘ala insan hinum minad dahri (al-Insan).” (HR. al-Bukhari no. 891 dan Muslim no. 880 dari shahabat Abu Hurairah)

Terkait permasalahan ini, al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitab Zadul Ma’ad menyatakan, “Nabi membaca 2 surat ini secara lengkap. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini yang membaca sebagian surat as-Sajdah pada rakaat pertama dan sebagian surat al-Insan pada rakaat kedua, atau surat as-Sajdah  dibaca untuk 2 rakaat. Yang demikian ini justru menyelisihi sunnah.”

Beliau melanjutkan, “Nabi membaca 2 surat ini karena pada keduanya terdapat peringatan tentang tempat bermulanya dan tempat kembalinya manusia, penciptaan Adam, surga dan neraka. Semua peristiwa ini terjadi pada hari Jum’at. Oleh karena itu Nabi membaca 2 surat ini pada shalat Shubuh pada hari Jum’at untuk mengingatkan peristiwa-peristiwa yang telah dan akan terjadi pada hari tersebut.”

Dijelaskan oleh para ulama bahwa pada asalnya disunnahkan untuk senantiasa membaca 2  surat ini  di setiap  shalat   Shubuh pada hari Jum’at karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah. Namun jika dikhawatirkan adanya anggapan bahwa membaca 2 surat ini di setiap shalat Shubuh pada hari Jum’at hukumnya wajib maka tidak mengapa membaca surat yang lainnya, misalkan sebulan sekali. Secara kuantitas, pembacaan 2 surat ini tetap lebih sering. (Lihat Fatawa wa Rasail Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh 3/12, Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/192, Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 16/109 (5031)).

Sunnah ini berlaku umum, untuk pria dan wanita baik shalat berjamaah maupun sendirian. Hadits di atas sifatnya umum berlaku untuk semua pihak, karena pada asalnya setiap syariat yang datang dari Nabi berlaku untuk setiap insan kecuali jika ada dalil lain yang mengkhususkannya. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 16/109 (4031)).

Membaca surat al Kahfi

Dalam sebuah hadits Rasulullah menyebutkan tentang keutamaan membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at. Beliau bersabda,

مَنْ قَرَأَ سُورَةَ الْكَهْفِ فِى يَوْمِ الْجُمُعَةِ أَضَاءَ لَهُ مِنَ النُّورِ مَا بَيْنَ الْجُمُعَتَيْنِ

“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua jum’at.” (HR. al-Baihaqi no. 606 dari shahabat Abu Said al-Khudri)

Sebuah pertanyaan sempat diajukan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Apa hukum membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at dan apakah ada perbedaan antara membaca surat tersebut dengan melihat al-Qur’an dan membacanya dengan hafalan?”

Beliau menjawab, “Membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at merupakan amalan yang disukai dan padanya terkandung keutamaan. Tidak ada bedanya antara seseorang membacanya dengan melihat al-Qur’an atau dengan hafalannya. Hari Jum’at yang dimaksud adalah dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Oleh karena itu, jika seseorang membacanya setelah shalat Jum’at maka dia mendapatkan pahala. Berbeda keadaannya dengan mandi jum’at karena mandi jum’at dilakukan sebelum shalat Jum’at. Mandi jum’at untuk shalat Jum’at sehingga didahulukan dari shalat Jum’at. Nabi bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian berada pada  hari Jum’at maka mandilah!” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/143)

Perlu diketahui bahwa surat ini tidak dibaca ketika shalat Shubuh pada hari Jum’at, namun dibaca diluar shalat baik sebelum atau sesudah shalat Jum’at. Adapun shalat Shubuh pada hari tersebut maka dengan membaca surat as-Sajdah dan al-Insan sebagaimana yang telah disebutkan pada point pertama. (Lihat Durus al-Haram al-Madani lil ‘Utsaimin 3/11).

Memperbanyak shalawat kepada baginda nabi

Bukan perkara yang asing bagi kita keutamaan bershalawat kepada Nabi. Nabi bersabda,

مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا

“Siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 408 dari shahabat Abu Hurairah)

Terkait hari Jum’at, nabipun mengingatkan kita untuk  memperbanyak shalawat atas beliau. Nabi menyatakan,

أَكْثِرُوا عَلَيَّ مِنَ الصَّلَاةِ فِي كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ؛ فَإِنَّ صَلَاةَ أُمَّتِي تُعْرَضُ عَلَيَّ فِي كُلِّ يَوْمِ جُمُعَةٍ، فَمَنْ كَانَ أَكْثَرَهُمْ عَلَيَّ صَلَاةً كَانَ أَقْرَبَهُمْ مِنِّي مَنْزِلَةً

“Perbanyaklah shalawat kepadaku di setiap jum’at karena sesungguhnya shalawat umatku akan diperlihatkan kepadaku di setiap jum’at. Maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku (pada hari kiamat kelak).” (HR. al-Baihaqi no. 2770 dalam Sunan al-Kubra dan Syu’abul Iman dari shahabat Abu Umamah)

Berdasarkan hadits ini, sepantasnya bagi kita untuk mengisi hari Jum’at dengan banyak bershalawat kepada Nabi. Lisan ini hendaknya senantiasa basah dengan shalawat baik ketika sedang berjalan, duduk, berbaring, di rumah, di masjid dan lain sebagainya tanpa rasa lelah dan malas. (Lihat Liqa al bab al maftuh Ibnu Utsaimin 11/105)

Berdoa

Pada hari Jum’at terdapat satu waktu  dikabulkan doa padanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

فِيهِ سَاعَةٌ، لاَ يُوَافِقُهَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ، وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي، يَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى شَيْئًا، إِلَّا أَعْطَاهُ إِيَّاهُ

“Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim menepatinya dalam keadaan dia berdiri shalat meminta sesuatu kepada Allah melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935 dari shahabat Abu Hurairah)

Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan waktu terkabulkannya doa tersebut, antara lain;
  1. Dimulai dari duduknya khatib di atas mimbar hingga selesai shalat
  2. Dimulai dari setelah shalat ashar hingga terbenamnya matahari
  3. Waktu-waktu terakhir penutup hari Jum’at
Setelah menyebutkan 3 waktu tersebut asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz memberikan pengarahan, “(Hadits-hadits yang menyebutkan tentang 3 waktu tersebut) Seluruhnya shahih dan tidak ada pertentangan padanya. Namun yang paling diharapkan adalah ketika khatib duduk di atas mimbar hingga selesai shalat dan ketika selesai shalat Ashar hingga terbenamnya matahari. Ini adalah waktu-waktu yang paling diharapkan terkabulnya doa.”

Kemudian beliau melanjutkan, “Pada asalnya seluruh waktu pada hari Jum’at diharapkan padanya pengabulan doa. Namun waktu yang paling diharapkan adalah ketika khatib duduk di atas mimbar hingga selesai shalat dan ketika selesai shalat Ashar hingga terbenamnya matahari. Adapun sisa waktu yang lain tetap diharapkan pula terkabulnya doa karena keumuman hadits-hadits yang menyebutkan tentang hal tersebut. Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperbanyak doa pada hari Jum’at dengan harapan menepati waktu yang diberkahi ini.

Namun hendaknya tetap mengistimewakan 3 waktu khusus tersebut dengan lebih memperbanyak doa dikarenakan Rasulullah telah menjelaskan bahwa waktu tersebut adalah waktu terkabulnya doa.” (lihat Majmu’ Fatawa bin Baz 12/402)

Maka beranjak dari sini, suatu hal yang semestinya ada pada kita, baik pria maupun wanita, di rumah atau di masjid agar bersemangat mengamalkan amalan yang satu ini. Menengadahkan tangan di hari Jum’at, terkhusus pada waktu-waktu yang paling diharapkan segala permintaan dan permohonan kita didengar dan dikabulkan oleh-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Ustadz Abdullah Imam