Selasa, 18 Juli 2017

PERINGATAN BAGI YANG HENDAK BERKURBAN
๐ŸŒบ PERINGATAN BAGI YANG HENDAK BERKURBAN
๐ŸŒท Imam Muslim meriwayatkan dari Ummu Salamah ุฑَุถِูŠَ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู†ْู‡َุง , bahwa Rasulullah َุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุนَู„ٰู‰ ุขู„ِู‡ِ ูˆَุณَู„َّู… bersabda:
«ู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ู„َู‡ُ ุฐِุจْุญٌ ูŠَุฐْุจَุญُู‡ُ ูَุฅِุฐَุง ุฃُู‡ِู„َّ ู‡ِู„َุงู„ُ ุฐِูŠ ุงู„ْุญِุฌَّุฉِ، ูَู„َุง ูŠَุฃْุฎُุฐَู†َّ ู…ِู†ْ ุดَุนْุฑِู‡ِ، ูˆَู„َุง ู…ِู†ْ ุฃَุธْูَุงุฑِู‡ِ ุดَูŠْุฆًุง ุญَุชَّู‰ ูŠُุถَุญِّูŠَ»،
๐Ÿ“ “Siapa yang memiliki hewan sembelihan (kurban) yang hendak ia sembelih, maka jika telah memasuki awal dzulhijjah, maka jangan sekali2 dia mengambil sedikitpun dari bulu/ rambut, dan tidak pula kukunya hingga ia berkurban.” (HR. MUSLIM)
๐Ÿ‘‰๐Ÿป Dalam hadits ini ada beberapa hukum yang berkaitan dengan kurban:
1). Bagi seseorang yang telah berniat untuk berkurban, tidak boleh mencukur sedikitpun dari rambut dan bulu yang tumbuh pada tubuhnya, demikian pula menggunting kuku tangan dan kaki, apabila telah memasuki 1 dzulhijjah.
2). Asal hukum larangan adalah haram, oleh karenanya, hukum tersebut adalah haram, menurut pendapat yang lebih kuat. Pendapat ini merupakan pendapat Said Bin Musayyab, Rabi’ah, Ahmad ,Ishaq, Dawud, dan sebagian pengikut mazhab Syafi’i.
3). Hikmah larangan tersebut adalah untuk menyerupakan seorang yang berkurban seperti orang yang sedang berihram, yang juga tidak diperbolehkan mencukur dan memotong kukunya.
4). Namun penyerupaan terhadap orang yang sedang melakukan ihram tersebut tidak bersifat umum, sebab yang hendak berkurban tetap diperbolehkan memakai wangi-wangian, boleh mendatangi istrinya, dan yang lainnya.
5). Larangan ini hanya berlaku bagi pemilik hewan kurban. Adapun yang diikut sertakan dalam hal meraih pahala kurban, seperti keluarga pemilik kurban, tidak terkena larangan tersebut. Wallahu A’lam.
 
๐Ÿ“ Ditulis oleh:
Abu Muawiyah Askari Bin Jamal

https://telegram.me/Askarybinjamal
Sumber Artikel: http://salafybpp.com

Kamis, 22 Juni 2017

Kamis, 04 Mei 2017

Tata Cara Mandi Janabah bagi Wanita
Al-Ustadzah Ummu Muhammad

Pembaca setia Qonitah, pada edisi lalu telah dibahas bahwa keluarnya mani dan bertemunya dua khitan adalah sebab seseorang menjadi junub sehingga diperintah oleh syariat untuk mandi janabah. Kali ini, bahasan tersebut akan disempurnakan dengan bahasan tata cara mandi janabah. Mari kita cermati bahasan berikut.
Rukun-rukun Mandi Janabah
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu yang berkata, “Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda,
ุฅِู†َّู…َุง ุงู„ْุฃَุนْู…َุงู„ُ ุจِุงู„ู†ِّูŠَّุงุชِ ูˆَุฅِู†َّู…َุง ู„ِูƒُู„ِّ ุงู…ْุฑِุฆٍ ู…َุง ู†َูˆَู‰
“Sesungguhnya setiap amalan bergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang dia niatkan.”(HR. al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907)
  1. Niat, adalah maksud dan tekad. Niat bertempat di dalam kalbu, dan melafadzkannya adalah bid’ah.
  2. Tasmiyah (membaca basmalah).
Hukumnya seperti hukum membaca bismillah ketika wudhu, yang menurut pendapat yang kuat hukumnya adalah wajib.
  1. Mencuci seluruh anggota tubuh.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
ูˆَุฅِู† ูƒُู†ุชُู…ۡ ุฌُู†ُุจุٗง ูَูฑุทَّู‡َّุฑُูˆุงْۚ
“Apabila kalian junub, bersucilah (mandilah).” (al-Maidah: 6)
ูَูฑุทَّู‡َّุฑُูˆุงْۚ dalam ayat ini bermakna ูَุงุบْุชَุณِู„ُูˆุง (mandilah).
Berkata al-Imam asy-Syaukani rahimahullah dalam as-Sailur Jarrar (1/113), “Adapun mengguyurkan air ke seluruh tubuh, makna mandi tidak akan dipahami dengan sempurna kecuali dengannya.”
Tata Cara Mandi Janabah
Tidak ada perbedaan antara mandi janabah bagi pria dan bagi wanita, kecuali pada dua hal:
  1. Tidak wajib bagi wanita melepaskan ikatan/jalinan rambutnya ketika mandi janabah.[1]
Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang berkata,
ูŠَุง ุฑَุณُูˆู„َ ุงู„ู„ู‡ِ، ุฅِู†ِّูŠ ุงู…ْุฑَุฃَุฉٌ ุฃَุดُุฏُّ ุถَูْุฑَ ุฑَุฃْุณِูŠ، ุฃَูَุฃَู†ْู‚ُุถُู‡ُ ู„ِุบُุณْู„ِ ุงู„ْุฌَู†َุงุจَุฉِ؟ ู‚َุงู„َ: ู„َุง، ุฅِู†َّู…َุง ูŠَูƒْูِูŠูƒِ ุฃَู†ْ ุชَุญْุซِูŠَ ุนَู„َู‰ ุฑَุฃْุณِูƒِ ุซَู„َุงุซَ ุญَุซَูŠَุงุชٍ، ุซُู…َّ ุชُูِูŠุถِูŠู†َ ุนَู„َูŠْูƒِ ุงู„ْู…َุงุกَ ูَุชَุทْู‡ُุฑِูŠู†َ. ูˆَูِูŠ ุฑِูˆَุงูŠَุฉٍ: ูˆَุงุบْู…ِุฒِูŠ ู‚ُุฑُูˆู†َูƒِ ุนِู†ْุฏَ ูƒُู„ِّ ุญَูْู†َุฉٍ
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya adalah wanita yang mengikat rambut kepala saya. Apakah saya lepaskan ikatan tersebut ketika mandi janabah? Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, ‘Tidak perlu. Sesungguhnya cukup bagimu mengguyur kepalamu tiga kali, kemudian mengguyur seluruh tubuhmu, maka kamu menjadi suci.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Tekan dan peraslah jalinan rambutmu pada setiap tuangan/guyuran.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 227)
Demikian pula hadits dari ‘Ubaid bin ‘Umair yang berkata, “Telah sampai berita kepada ‘Aisyah bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr memerintah para wanita untuk melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi (janabah). ‘Aisyah pun berkata, ‘Alangkah aneh Ibnu ‘Amr ini! Dia memerintah para wanita untuk melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi?! Tidakkah dia memerintah mereka untuk memotong rambut saja? Aku pernah mandi bersama Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dari satu bejana, dan aku menuangkan air ke atas kepalaku tidak lebih dari tiga tuangan’.” (HR. Muslimno. 331)
Hadits di atas merupakan pengingkaran ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha kepada ‘Abdullah bin ‘Amr c yang memerintah para wanita untuk melepaskan ikatan rambut mereka ketika mandi (janabah). Ini menunjukkan bahwa melepaskan ikatan/jalinan rambut ketika mandi janabah tidak wajib.
Al-Imam asy-Syaukani t, dalam Nailul Authar (1/250), berkata, “Hadits di atas menunjukkan tidak wajibnya seorang wanita melepaskan/membuka ikatan/jalinan rambutnya (ketika mandi janabah, -pen.).”
  1. Tidak wajib bagi wanita mencuci bagian dalam farji (kemaluan)nya ketika mandi janabah, berdasarkan pendapat yang paling benar dari dua pendapat. Wallahu a’lam.
Pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebagaimana dalam al-Fatawa (21/297). Beliau berkata dalam kitab yang sama di bagian yang lain (21/237), “Apabila wanita melakukannya (yaitu mencuci bagian dalam farjinya, -pen.), boleh-boleh saja.”
Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Hal itu diperbolehkan dalam rangka kebersihan, bukan dalam rangka ibadah.”
Kaifiyyah (tata cara) mandi janabah ada dua macam, yaitu:
  1. Mandi cukup
Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
ุฅِู†َّู…َุง ูŠَูƒْูِูŠูƒِ ุฃَู†ْ ุชَุญْุซِูŠَ ุนَู„َู‰ ุฑَุฃْุณِูƒِ ุซَู„َุงุซَ ุญَุซَูŠَุงุชٍ، ุซُู…َّ ุชُูِูŠุถِูŠู†َ ุนَู„َูŠْูƒِ ุงู„ْู…َุงุกَ ูَุชَุทْู‡ُุฑِูŠู†َ
“Sesungguhnya cukup bagimu menuangkan air ke atas kepalamu tiga kali, kemudian mengguyurkan air ke seluruh tubuhmu, maka kamu telah suci.” (HR. Muslim no. 320)
Hadits di atas adalah salah satu dalil tata cara mandi janabah cukup, yaitu dengan mengguyurkan air ke atas kepala tiga kali, kemudian menuangkan air ke seluruh tubuh dengan merata. Dengan demikian, orang yang junub dianggap telah suci dari hadats besar.
  1. Mandi sempurna
Cara ini akan dijabarkan sebagai berikut.
Sifat Mandi Janabah
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mandi janabah, beliau memulai dengan mencuci kedua tangan, kemudian menuangkan air dengan tangan kanan ke tangan kiri, kemudian mencuci kemaluan. Setelah itu, beliau berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat, mengambil air dan memasukkan jari-jari ke pangkal-pangkal rambut sampai menyangka telah basah seluruhnya, mengguyurkan air ke atas kepala tiga kali, mengguyurkan air ke seluruh tubuh, kemudian mencuci kedua kaki.” (HR. al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
  • Mencuci kedua tangan sebelum memasukkannya ke bejana
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau ` memulai dengan mencuci kedua tangan sebelum memasukkan tangan ke bejana.” (HR. Muslim no. 316)
  • Mengusapkan tangan kiri (yang telah mencuci kemaluan) ke debu, atau mencucinya dengan sabun dan semisalnya
Dalilnya adalah hadits dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, “… beliau mencuci kemaluan beliau kemudian menggosokkan tangan beliau ke tanah atau ke tembok.” (HR. al-Bukhari no. 259)
Dalam riwayat Muslim, “Kemudian beliau memukulkan tangan kiri beliau ke tanah dan menggosoknya dengan keras.” (HR. Muslim no. 317)
  • Berwudhu sebelum mandi
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia bercerita, “Dahulu apabila Nabi ` mandi janabah, beliau memulai dengan mencuci tangan, kemudian berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. al-Bukhari no. 248 dan Muslim no. 316)
  • Menuangkan air ke atas kepala tiga kali dan menyela-nyela rambut
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “… beliau ` memasukkan jari-jari ke dalam air kemudian menyela-nyela rambut, lalu menuangkan air ke atas kepala tiga kali dengan kedua tangan.” (HR. al-Bukhari no. 248 danMuslim no. 316)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga, “… kemudian menyela-nyela rambut dengan jari-jari tangan sampai menyangka bahwa kulit kepala beliau telah basah seluruhnya, kemudian menuangkan air ke atas kepala tiga kali, kemudian mencuci seluruh tubuh.” (HR. al-Bukhari 272)
  • Memulai dengan bagian kanan kepala kemudian bagian kiri
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha yang berkata, “… beliau ` mengambil air dengan telapak tangan, menuang air ke atas kepala dimulai dari kepala bagian kanan, kemudian bagian kiri, kemudian menuangkan air dengan kedua telapak tangan ke atas kepala.” (HR. al-Bukhari no. 258)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pula, beliau berkata, “Apabila salah seorang dari kami junub, dia mengambil air dengan kedua tangannya tiga kali, dia tuangkan ke atas kepala. Kemudian, dia mengambil air lagi dengan tangannya dan menuangkannya ke kepala bagian kanan, kemudian mengambil air dengan tangannya yang lain dan menuangkannya ke kepala bagian kiri.” (HR. al-Bukhari no. 227, dan Abu Dawud no. 253)
  • Menuangkan air ke seluruh kulit
Hal ini sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “… kemudian beliau ` mencuci tubuh beliau seluruhnya.” (HR. al-Bukhari no. 272)
Dalam riwayat Muslim no. 316, “… kemudian beliau menuangkan air ke seluruh tubuh.”
  • Memulai dengan bagian kanan ketika mandi
Hal ini berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam menyukaiat-tayammun (memulai dari bagian kanan) pada semua keadaan beliau, seperti ketika memakai sandal, menyisir, dan bersuci.” (HR. al-Bukhari no. 5854, Muslim no. 268, dan selain keduanya)
  • Memerhatikan kebersihan daerah lipatan kulit ketika mandi
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Dahulu apabila Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam ingin mandi janabah, beliau memulai dengan mencuci kedua telapak tangan, kemudian mencuci al-marafigh (ุงَู„ْู…َุฑَุงูِุบُ)[2] dan menuangkan air ke atasnya. Apabila keduanya telah bersih, beliau gosokkan tangan ke debu yang ada di dinding, kemudian menghadap (bejana) untuk berwudhu dan menuangkan air ke atas kepala beliau.” (HR. Abu Dawud, dinyatakan shahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 2231)
  • Mengakhirkan pencucian kedua kaki
Hal ini berdasarkan hadits dari Maimunah radhiyallahu ‘anha yang berkata, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalamberwudhu seperti wudhu untuk shalat (ketika mandi janabah, pen.), kecuali membasuh kedua kaki, dan mencuci kemaluan beliau. Setelah itu, beliau menuangkan air ke atas seluruh tubuh. Kemudian, kedua kaki beliau berpindah tempat dan beliau mencuci keduanya.” (HR. al-Bukhari no. 249)
Asy-Syaikh al-Albani berkata dalam al-Irwa’ 1/170, setelah membawakan hadits Maimunah radhiyallahu ‘anha, “Hadits ini sebagai nash/dalil dibolehkannya mengakhirkan pencucian kedua kaki ketika mandi janabah, berbeda dengan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha (kaki dicuci ketika wudhu sebelum mandi, -pen.). Bisa jadi, beliau ` melakukan dua perkara ini: terkadang mencuci kedua kaki ketika wudhu, dan terkadang mengakhirkan pencucian kedua kaki sampai di akhir mandi. Wallahu a’lam.”
Tidak berwudhu lagi setelah mandi[3]
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata, “Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam mandi kemudian shalat dua rakaat lalu shalat shubuh. Saya tidak melihat beliau memperbarui wudhu setelah mandi.” (HR. Abu Dawud [lihat Shahih Sunan Abi Dawud no. 225] dan at-Tirmidzi—beliau berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Dalam riwayat Ibnu Majah dengan lafadz, “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam tidak berwudhu setelah mandi janabah.” (Lihat Shahih Sunan Ibni Majah no. 470 dan al-Misykah no. 445)
Mandi dengan air satu sha’[4] atau semisalnya
Diceritakan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, “Nabi  mandi dengan air satu sha’ sampai lima mud, dan berwudhu dengan satu mud.” (HR. al-Bukhari no. 201 dan Muslim no. 325)
Secara ringkas, tata cara mandi sempurna adalah:
  • Mencuci kedua tangan.
  • Mencuci kemaluan dan dubur.
  • Mengusapkan kedua tangan pada debu atau mencucinya dengan sabun atau semisalnya. Mencuci kedua tangan ini ditekankan sebelum memasukkannya ke bejana.
  • Berwudhu seperti wudhu untuk shalat, kecuali mencuci kedua kaki, atau mencuci keduanya ketika wudhu jika dia suka.
  • Menyela-nyela rambut, kemudian menuangkan air dengan kedua tangan tiga kali, dan memulai dari bagian kanan kepala kemudian bagian kiri.
  • Selalu mendahulukan bagian kanan tubuh kemudian bagian kiri.
  • Mencuci kedua kaki apabila belum melakukannya ketika berwudhu.
  • Memerhatikan hal-hal berikut.
  1. Menuangkan air ke atas seluruh tubuh dan kulit.
  2. Hemat dalam penggunaan air.
  3. Menaruh perhatian untuk mencuci al-marafigh (daerah lipatan-lipatan kulit).
  4. Ditekankannya menggosok kepala bagi yang berambut lebat/tebal.
  5. Tidak berwudhu setelah mandi.
Demikianlah, Saudariku muslimah, tata cara mandi janabah. Semoga kita dapat mengamalkannya.
Wallahul muwaffiq wallahu a’lam.
[1] Karena mayoritas wanita berambut panjang dan terkadang dia menjalin atau mengepang rambutnya. Ketika mandi janabah, dia tidak diwajibkan untuk membuka atau melepas jalinan rambutnya tersebut.
[2] ุงَู„ْู…َุฑَุงูِุบُ adalah daerah lipatan-lipatan kulit, seperti ketiak atau tempat lain yang biasanya terkumpul padanya kotoran dan keringat.
[3] Karena yang disunnahkan adalah berwudhu sebelum mandi, sebagaimana ditunjukkan oleh nash/dalil.
[4] Satu sha’ adalah empat mud, dan satu mud adalah seukuran cakupan dengan kedua telapak tangan yang berukuran sedang.
https://qonitah.com/tata-cara-mandi-janabah-bagi-wanita/
•┈┈┈┈┈┈┈••••๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿ’๐Ÿ‚๐Ÿ‚••••┈┈┈┈┈┈┈•
┏===========✍๐Ÿป===========┓
  ๐Ÿ“‹ BELAJAR MANHAJ SALAF  ๐Ÿ“‹       
           ~ Channel & Whatsapp ~          
┗===========✍๐Ÿป===========┛
๐Ÿ“• Berbagi Faedah Ilmu Syar'i sesuai  KITABULLOH wa SUNNAH
dalam meniti AL-HAQ

Situs kami :

•┈┈┈┈┈┈┈••••๐Ÿƒ๐Ÿƒ๐Ÿ’๐Ÿ‚๐Ÿ‚••••┈┈┈┈┈┈┈•

Minggu, 30 April 2017

Mengisi Hari Jumโ€™at Dengan Amalan-Amalan Istimewa
Keutamaan hari Jum’at bukan suatu yang asing bagi kita. Oleh karenanya, sepantasnya kaum muslimin benar-benar memanfaatkan salah satu waktu yang mulia ini dengan maksimal. Mengisinya dengan amalan-amalan yang memang disyariatkan pada hari tersebut. Mandi jum’at, memakai pakaian shalat yang bagus, mengenakan wewangian, bersegera menuju masjid adalah beberapa amalan rutin yang biasa dikerjakan pada hari Jum’at. Amalan-amalan khusus sebagai bentuk pengistimewaan hari Jum’at yang memang tidak sama dengan hari-hari yang lain.

Namun ada beberapa amalan lain yang disyariatkan pula bagi kita untuk mengerjakannya. Maka untuk edisi kali ini, insya Allah akan kami bahas beberapa amalan-amalan tersebut sebagai pengingat bagi yang lupa dan sebagai tambahan ilmu bagi yang belum tahu.

Para pembaca rahimakumullah, di antara amalan-amalan yang disyariatkan pada hari Jum’at adalah,

Membaca surat as-Sajdah dan al-Insan pada shalat Shubuh.

Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah,

ูƒَุงู†َ ุงู„ู†َّุจِูŠُّ ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ูˆَุณَู„َّู…َ ูŠَู‚ْุฑَุฃُ ูِูŠ ุงู„ุฌُู…ُุนَุฉِ ูِูŠ ุตَู„ุงَุฉِ ุงู„ูَุฌْุฑِ ุงู„ู… ุชَู†ْุฒِูŠู„ُ ุงู„ุณَّุฌْุฏَุฉَ، ูˆَู‡َู„ْ ุฃَุชَู‰ ุนَู„َู‰ ุงู„ุฅِู†ْุณَุงู†ِ ุญِูŠู†ٌ ู…ِู†َ ุงู„ุฏَّู‡ْุฑِ

 “Dahulu Nabi ketika shalat shubuh pada hari Jum’at beliau membaca surat alif laam miim as-Sajdah dan hal ataa ‘ala insan hinum minad dahri (al-Insan).” (HR. al-Bukhari no. 891 dan Muslim no. 880 dari shahabat Abu Hurairah)

Terkait permasalahan ini, al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah di dalam kitab Zadul Ma’ad menyatakan, “Nabi membaca 2 surat ini secara lengkap. Tidak sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang di masa ini yang membaca sebagian surat as-Sajdah pada rakaat pertama dan sebagian surat al-Insan pada rakaat kedua, atau surat as-Sajdah  dibaca untuk 2 rakaat. Yang demikian ini justru menyelisihi sunnah.”

Beliau melanjutkan, “Nabi membaca 2 surat ini karena pada keduanya terdapat peringatan tentang tempat bermulanya dan tempat kembalinya manusia, penciptaan Adam, surga dan neraka. Semua peristiwa ini terjadi pada hari Jum’at. Oleh karena itu Nabi membaca 2 surat ini pada shalat Shubuh pada hari Jum’at untuk mengingatkan peristiwa-peristiwa yang telah dan akan terjadi pada hari tersebut.”

Dijelaskan oleh para ulama bahwa pada asalnya disunnahkan untuk senantiasa membaca 2  surat ini  di setiap  shalat   Shubuh pada hari Jum’at karena demikianlah yang dilakukan oleh Rasulullah. Namun jika dikhawatirkan adanya anggapan bahwa membaca 2 surat ini di setiap shalat Shubuh pada hari Jum’at hukumnya wajib maka tidak mengapa membaca surat yang lainnya, misalkan sebulan sekali. Secara kuantitas, pembacaan 2 surat ini tetap lebih sering. (Lihat Fatawa wa Rasail Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh 3/12, Majmu’ Fatawa Bin Baz 11/192, Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 16/109 (5031)).

Sunnah ini berlaku umum, untuk pria dan wanita baik shalat berjamaah maupun sendirian. Hadits di atas sifatnya umum berlaku untuk semua pihak, karena pada asalnya setiap syariat yang datang dari Nabi berlaku untuk setiap insan kecuali jika ada dalil lain yang mengkhususkannya. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasail Ibnu Utsaimin 16/109 (4031)).

Membaca surat al Kahfi

Dalam sebuah hadits Rasulullah menyebutkan tentang keutamaan membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at. Beliau bersabda,

ู…َู†ْ ู‚َุฑَุฃَ ุณُูˆุฑَุฉَ ุงู„ْูƒَู‡ْูِ ูِู‰ ูŠَูˆْู…ِ ุงู„ْุฌُู…ُุนَุฉِ ุฃَุถَุงุกَ ู„َู‡ُ ู…ِู†َ ุงู„ู†ُّูˆุฑِ ู…َุง ุจَูŠْู†َ ุงู„ْุฌُู…ُุนَุชَูŠْู†ِ

“Barangsiapa yang membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at, dia akan disinari cahaya di antara dua jum’at.” (HR. al-Baihaqi no. 606 dari shahabat Abu Said al-Khudri)

Sebuah pertanyaan sempat diajukan kepada asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, “Apa hukum membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at dan apakah ada perbedaan antara membaca surat tersebut dengan melihat al-Qur’an dan membacanya dengan hafalan?”

Beliau menjawab, “Membaca surat al-Kahfi pada hari Jum’at merupakan amalan yang disukai dan padanya terkandung keutamaan. Tidak ada bedanya antara seseorang membacanya dengan melihat al-Qur’an atau dengan hafalannya. Hari Jum’at yang dimaksud adalah dari terbitnya matahari hingga terbenamnya matahari. Oleh karena itu, jika seseorang membacanya setelah shalat Jum’at maka dia mendapatkan pahala. Berbeda keadaannya dengan mandi jum’at karena mandi jum’at dilakukan sebelum shalat Jum’at. Mandi jum’at untuk shalat Jum’at sehingga didahulukan dari shalat Jum’at. Nabi bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian berada pada  hari Jum’at maka mandilah!” (Majmu’ Fatawa wa Rasail al-Utsaimin 16/143)

Perlu diketahui bahwa surat ini tidak dibaca ketika shalat Shubuh pada hari Jum’at, namun dibaca diluar shalat baik sebelum atau sesudah shalat Jum’at. Adapun shalat Shubuh pada hari tersebut maka dengan membaca surat as-Sajdah dan al-Insan sebagaimana yang telah disebutkan pada point pertama. (Lihat Durus al-Haram al-Madani lil ‘Utsaimin 3/11).

Memperbanyak shalawat kepada baginda nabi

Bukan perkara yang asing bagi kita keutamaan bershalawat kepada Nabi. Nabi bersabda,

ู…َู†ْ ุตَู„َّู‰ ุนَู„َูŠَّ ูˆَุงุญِุฏَุฉً ุตَู„َّู‰ ุงู„ู„ู‡ُ ุนَู„َูŠْู‡ِ ุนَุดْุฑًุง

“Siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali.” (HR. Muslim no. 408 dari shahabat Abu Hurairah)

Terkait hari Jum’at, nabipun mengingatkan kita untuk  memperbanyak shalawat atas beliau. Nabi menyatakan,

ุฃَูƒْุซِุฑُูˆุง ุนَู„َูŠَّ ู…ِู†َ ุงู„ุตَّู„َุงุฉِ ูِูŠ ูƒُู„ِّ ูŠَูˆْู…ِ ุฌُู…ُุนَุฉٍ؛ ูَุฅِู†َّ ุตَู„َุงุฉَ ุฃُู…َّุชِูŠ ุชُุนْุฑَุถُ ุนَู„َูŠَّ ูِูŠ ูƒُู„ِّ ูŠَูˆْู…ِ ุฌُู…ُุนَุฉٍ، ูَู…َู†ْ ูƒَุงู†َ ุฃَูƒْุซَุฑَู‡ُู…ْ ุนَู„َูŠَّ ุตَู„َุงุฉً ูƒَุงู†َ ุฃَู‚ْุฑَุจَู‡ُู…ْ ู…ِู†ِّูŠ ู…َู†ْุฒِู„َุฉً

“Perbanyaklah shalawat kepadaku di setiap jum’at karena sesungguhnya shalawat umatku akan diperlihatkan kepadaku di setiap jum’at. Maka barangsiapa yang paling banyak bershalawat kepadaku, dialah yang paling dekat denganku (pada hari kiamat kelak).” (HR. al-Baihaqi no. 2770 dalam Sunan al-Kubra dan Syu’abul Iman dari shahabat Abu Umamah)

Berdasarkan hadits ini, sepantasnya bagi kita untuk mengisi hari Jum’at dengan banyak bershalawat kepada Nabi. Lisan ini hendaknya senantiasa basah dengan shalawat baik ketika sedang berjalan, duduk, berbaring, di rumah, di masjid dan lain sebagainya tanpa rasa lelah dan malas. (Lihat Liqa al bab al maftuh Ibnu Utsaimin 11/105)

Berdoa

Pada hari Jum’at terdapat satu waktu  dikabulkan doa padanya. Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda,

ูِูŠู‡ِ ุณَุงุนَุฉٌ، ู„ุงَ ูŠُูˆَุงูِู‚ُู‡َุง ุนَุจْุฏٌ ู…ُุณْู„ِู…ٌ، ูˆَู‡ُูˆَ ู‚َุงุฆِู…ٌ ูŠُุตَู„ِّูŠ، ูŠَุณْุฃَู„ُ ุงู„ู„َّู‡َ ุชَุนَุงู„َู‰ ุดَูŠْุฆًุง، ุฅِู„َّุง ุฃَุนْุทَุงู‡ُ ุฅِูŠَّุงู‡ُ

“Pada hari itu ada saat yang tidaklah seorang hamba muslim menepatinya dalam keadaan dia berdiri shalat meminta sesuatu kepada Allah melainkan akan dikabulkan oleh-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 935 dari shahabat Abu Hurairah)

Terjadi perbedaan pendapat tentang kapan waktu terkabulkannya doa tersebut, antara lain;
  1. Dimulai dari duduknya khatib di atas mimbar hingga selesai shalat
  2. Dimulai dari setelah shalat ashar hingga terbenamnya matahari
  3. Waktu-waktu terakhir penutup hari Jum’at
Setelah menyebutkan 3 waktu tersebut asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz memberikan pengarahan, “(Hadits-hadits yang menyebutkan tentang 3 waktu tersebut) Seluruhnya shahih dan tidak ada pertentangan padanya. Namun yang paling diharapkan adalah ketika khatib duduk di atas mimbar hingga selesai shalat dan ketika selesai shalat Ashar hingga terbenamnya matahari. Ini adalah waktu-waktu yang paling diharapkan terkabulnya doa.”

Kemudian beliau melanjutkan, “Pada asalnya seluruh waktu pada hari Jum’at diharapkan padanya pengabulan doa. Namun waktu yang paling diharapkan adalah ketika khatib duduk di atas mimbar hingga selesai shalat dan ketika selesai shalat Ashar hingga terbenamnya matahari. Adapun sisa waktu yang lain tetap diharapkan pula terkabulnya doa karena keumuman hadits-hadits yang menyebutkan tentang hal tersebut. Maka sudah sepantasnya bagi kita untuk memperbanyak doa pada hari Jum’at dengan harapan menepati waktu yang diberkahi ini.

Namun hendaknya tetap mengistimewakan 3 waktu khusus tersebut dengan lebih memperbanyak doa dikarenakan Rasulullah telah menjelaskan bahwa waktu tersebut adalah waktu terkabulnya doa.” (lihat Majmu’ Fatawa bin Baz 12/402)

Maka beranjak dari sini, suatu hal yang semestinya ada pada kita, baik pria maupun wanita, di rumah atau di masjid agar bersemangat mengamalkan amalan yang satu ini. Menengadahkan tangan di hari Jum’at, terkhusus pada waktu-waktu yang paling diharapkan segala permintaan dan permohonan kita didengar dan dikabulkan oleh-Nya. Wallahu a’lam bish shawab. Semoga bermanfaat. 

Penulis: Ustadz Abdullah Imam