Senin, 11 Desember 2017

Download Kajian Ilmiah Islamiyah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Pentingnya Waktu Lapang
Rekaman  Audio Kajian Ilmiah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (Gunung Bakaran - Masjid Baiturrahman Balikpapan)

Tema: Pentingnya Waktu Lapang
Pemateri: Al Ustadz Abu Usamah  حفظه الله تعالى
Waktu: Malam Ahad, 2 Desember 2017 | Ba'da Magrib sd Isya' | InsyaAllah rutin Setiap Malam Ahad.

-Menghadiri Majelis Ilmu Lebih Utama-

Barangsiapa yang menempuh satu jalan, untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke surga. (HR. Muslim)

Unduh Audionya: https://bit.ly/2Z7SN7Z

Sabtu, 18 November 2017

KEUTAMAAN MEMBACA AL QUR'AN (Bagian 1-6)

Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 1)

Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 2)

Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 3)

Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 4)
Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 5)

Keutamaan Membaca Al Qur'an (Bagian 6)

Inilah beberapa keutamaan membaca Al Qur'an, semoga dengan mengetahui beberapa keutamaan dari membaca Al Qur'an, menjadikan dan memacu semangat kita untuk mempelajari Al Qur'an dan mengamalkannya. Aamiin.

Minggu, 17 September 2017

Kelembutan Dalam Bedakwah
BUTUH KELEMBUTAN DALAM BERDAKWAH
Berkata al-Imam Abdul Aziz Bin Baz –rahimahullah-:

‏هذا العصر عصر الرفق والصبر والحكمة، وليس عصر الشدة، الناس أكثرهم في جهل، في غفلة إيثار للدنيا، فلا بد من الصبر، ولا بد من الرفق حتى تصل الدعوة، وحتى يبلغ الناس وحتى يعلموا، ونسأل الله للجميع الهداية .

“Masa ini merupakan masa kelembutan, kesabaran dan hikmah, bukan masa bersikap keras. Kebanyakan manusia hidup dalam kejahilan, lalai dalam memprioritaskan kehidupan dunia. Harus bersifat sabar, harus dengan kelembutan, agar dakwah bisa tersampaikan, sampai kepada manusia hingga mereka mengetahui.
Kami memohon kepada Allah Ta’ala agar memberi hidayah kepada semuanya.
(Fatawa Nur ‘Alad Darb: 8/ 378)

Catatan:  Lembut bukan berarti lembek, dan mengorbankan prinsip-prinsip manhaj salafi, sebagaimana hikmah bukan berarti bermudah-mudahan dalam perkara yang haram.
——-

TINGGALKAN SIKAP KASAR DALAM BERDAKWAH

Berkata Al-Allamah Tabi’in Bin Hadi Al-Madkhali –Hafizhahullah-:
” ومن كان عنده شيءٌ من القسوة أو الشدّة ، فليتق الله في نفسه ، وليرحم إخوانه ، وليحترم هذه الدعوة ، وعليه أن يدرك بأنّه – بهذه الأخلاق المنافية للمنهج وللأخلاق التي جاء بها الإسلام – تضرُّ أضرارًا بالغة ، فليتجرّد لله ربّ العالمين ” اﻫـ .

“Siapa yang memiki sikap kasar dan keras, hendaknya dia bertakwa kepada Allah Ta’ala pada dirinya, dan hendaknya dia mengasihi saudara-saudaranya, dan menghormati dakwah ini. Hendaknya dia memahami bahwa berakhlak dengan akhlak yang menyelisihi manhaj dan akhlak yang diajarkan Islam, sangat memberi kemudaratan, maka hendaknya seseorang ikhlas karena Allah Rabbul’alamin.”
(Al-Lubaab min Majmu’ nashaaih wa taujiihaat Asy-Syaikh Tabi’in lisy-syabaab:132)
——-

LEMBUT BUKAN LEMBEK
Berkata Al-Allamah Ibnu Utsaimin –rahimahullah-:
” ﻗﺪ ﻳﻈﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨَّﺎﺱ ﺃﻥَّ ﻣﻌﻨﻰ ﺍﻟﺮِّﻓﻖ ﺃﻥ ﺗﺄﺗﻲ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﻳﺸﺘﻬﻮﻥ ﻭﻳﺮﻳﺪﻭﻥ ، ﻭﻟﻴﺲ ﺍﻷﻣﺮ ﻛﺬﻟﻚ .
ﺑﻞ ﺍﻟﺮِّﻓﻖ ﺃﻥ ﺗﺴﻴﺮ ﺑﺎﻟﻨَّﺎﺱ ﺣﺴﺐ ﺃﻭﺍﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ ، ﻭﻟﻜﻦ ﺗﺴﻠﻚ ﺃﻗﺮﺏ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﻭﺃﺭﻓﻖ ﺍﻟﻄﺮﻕ ﺑﺎﻟﻨَّﺎﺱ .
ﻭﻻ ﺗﺸﻖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻟﻴﺲ ﻋﻠﻴﻪ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺭﺳﻮﻟﻪ.
اهـ .
“Ada sebagian orang menyangka bahwa makna kelembutan adalah engkau menyikapi manusia sesuai kehendak dan kemauan mereka, itu hal yang tidak benar.
Namun kelembutan yang dimaksud adalah menyikapi manusia berdasarkan perintah Allah dan rasul-nya, namun engkau menempuh cara terdekat dan terlembut kepada manusia, dan jangan engkau mempersulit mereka pada sesuatu yang tidak terdapat padanya perintah Allah dan rasul-Nya.”
 (Syarah Riyadhus Shalihin: 3/ 634)

Sumber: https://t.me/Askarybinjamal , Salafybpp.com

Minggu, 03 September 2017

Adab Makan dan Minum

galeriposterdakwah
Islam adalah dien (agama) rahmat bagi semesta alam. Dien (agama) yang menjelaskan segala bentuk kemaslahatan (kebaikan) bagi manusia, mulai dari masalah yang paling kecil dan ringan hingga masalah yang paling besar dan berat. Demikianlah kesempurnaan Islam yang hujjahnya sangat jelas dan terang, malamnya bagaikan siang. Sehingga tidak ada satupun permasalahan yang tersisa melainkan telah dijelaskan didalamnya. Termasuk dari keindahan dan kesempurnaan agama Islam adalah adanya aturan-aturan dan adab ketika makan dan minum. Bagaimanakah agama Islam nan sempurna ini mengaturnya?. Pada edisi kali ini kami sajikan pembahasannya secara ringkas sebagai berikut:

Adab-adab ketika menyantap hidangan

 1. Berdo’a sebelum makan 

Permasalahan yang sungguh sangat ringan, namun sering terlalaikan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu berdo’a sebelum makan. Padahal lebih ringan daripada sekedar mengangkat sesuap nasi ke mulut dan tidak lebih berat dari menahan rasa lapar.

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا فَلْيَقُلْ: بسم الله, فَإِنْ نَسِيَ فِيْ أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِيْ أَوَّ لِهِ وَآخِرِهِ

“Apabila salah seorang kalian makan suatu makanan, maka hendaklah dia mengucapkan “Bismillah” (Dengan nama Allah), dan bila dia lupa diawalnya hendaklah dia mengucapkan “Bismillah fii awwalihi wa akhirihi” (Dengan nama Allah di awal dan diakhirnya).”{Shahih Sunan At-Tirmidzi 2/167 no.1513 oleh Asy-Syaikh Al-Albani }

Dalam hadits yang lain dari Shahabat yang membantu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam selama 18 tahun, dia bercerita bahwa: “Dia selalu mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam apabila mendekati makanan mengucapkan ‘bismillah’.”{HR. Muslim}

Berdasarkan dalil yang shahih dan sharih (tegas) di atas, menerangkan bahwa membaca ‘bismillah’ ketika makan dan minum adalah wajib dan berdosa bila meninggalkannya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

يَاغُلاَمُ,سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ…

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu…”{HR.Al Bukhari dan Muslim}
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: “Yang benar adalah wajib membaca ‘bismilah’ ketika makan. Dan hadits-hadits yang memerintahkan demikian adalah shahih dan sharih. Dan tidak ada yang menyelisihinya serta tidak ada satupun ijma’ yang membolehkan untuk menyelisihinya dan mengeluarkan dari makna lahirnya. Orang yang meninggalkannya akan ditemani setan dalam makan dan minumnya.”

Kemudian apakah boleh bagi kita untuk menambah dengan bacaan “Arrahmanirrahim”?
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam kitab beliau Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (1/152) mengatakan: “Membaca tasmiyah di permulaan makan adalah ‘Bismillah’ dan tidak ada tambahan padanya. Dan semua hadits-hadits yang shahih dalam masalah ini tidak ada tambahan sedikitpun. Dan saya tidak mengetahui satu haditspun yang didalamnya ada tambahan (bismillahirrahmanirrahim, pent).”

2. Menggunakan tangan kanan

Makan dan minum dengan tangan kanan adalah wajib, dan bila seseorang makan dan minum dengan tangan kiri maka berdosa karena dia telah menyelisihi perintah Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya serta merupakan bentuk perbuatan tasyabbuh (meniru) perilaku setan dan orang-orang kafir.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَأْكُلْ بِيَمِيْنِهِ وَإِذَا شَرِبَ فَلْيَشْرَبْ بِيَمِيْنِهِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَأْكُلُ بِشِمَالِهِ وَيَشْرَبُ بِشِمَالِهِ

“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka hendaklah makan dengan tangan kanan dan apabila dia minum, minumlah dengan tangan kanan. Karena setan apabila dia makan, makan dengan tangan kiri dan apabila minum, minum dengan tangan kiri.”{HR. Muslim}

3. Makan dari arah pinggir dan disekitarnya

Makan dari arah pinggir atau tepi dan memakan apa yang ada disekitarnya (yang terdekat) merupakan bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, dan pada bimbingan beliau terkandung barakah serta merupakan penampilan adab yang baik.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا وُضِعَ الطَّعَامُ فَخُذُوْا مِنْ حَافَتِهِ وَذَرُوْا وَسْطَهُ فَإِنَّ الْبَرَكَةَ تَنْزِلُ فِيْ وَسْطِهِ

“Jika makanan diletakkan, maka mulailah dari pinggirnya dan jauhi (memulai) dari tengahnya, karena sesungguhnya barakah itu turun di tengah-tengah makanan.”{Shahih Sunan Ibnu Majah no.2650 oleh Asy-Syaikh Al-Albani}

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada ‘Umar bin Abi Salamah:

يَاغُلاَمُ,سَمِّ اللهَ وَكُلْ بِيَمِيْنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ

“Wahai anak! Sebutlah nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah yang ada disekitarmu (didekatmu).”{HR.Al Bukhari dan Muslim}

4. Duduk saat makan

Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentunya hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Sifat duduk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu ‘anhu: “Nabi memiliki sebuah qas’ah (tempat makan/nampan) dan qas’ah itu disebut Al-Gharra’ dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawalah qas’ah tersebut ¬dan padanya ada tsarid (sejenis roti) ¬ mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya: “Duduk apa ini, wahai Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam” Beliau menjawab: “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seorang yang angkuh dan penentang.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Kenapa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)? Ibnu Baththal mengatakan: “Beliau melakukan hal itu sebagai salahsatu bentuk tawadhu’ beliau.” {Fathul Bari, 9/619}

Al Hafidzh Ibnu Hajar juga menerangkan:”…maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau dengan mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.”{Fathul Bari, }

5. Tidak boleh mencerca makanan

Semua yang kita makan dan minum merupakan rizki yang datang dari Allah subhanahu wata’ala, maka tidak boleh bagi kita untuk menghina ataupun mencerca sedikitpun dari apa yang telah diberikan Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita suatu adab yang mulia ketika tidak menyukai makanan yang dihidangkan sebagaimana dalam hadits:

Dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

مَا عَابَ النَّبِيُّ صَلى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طَعَامًا قَطُّ, إِنِ اشْتَهَاهُ أَكَلَهُ وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُُ

“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencerca makanan sama sekali. Bila beliau mengiginkan sesuatu beliau memakannya dan bila tidak suka beliau meninggalkannya.”{HR. Al Bukhari dan Muslim}

6. Berdo’a sesudah makan

Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala meridhai terhadap seorang hamba yang makan dan minum, kemudian memuji-Nya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ اللهَ لَيَرْضَى عَنِ الْعَبْدِ أَنْ يَأْكُلَ اْلأَكْلَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا أَوْ يَشْرَبَ الشُّرْبَةَ فَيَحْمَدَهُ عَلَيْهَا

“Sesungguhnya Allah betul-betul ridha terhadap seorang hamba yang memakan makanan, kemudian memuji-Nya dan yang meminum minuman lalu memuji-Nya.” {HR. Muslim}

Adapun di antara beberapa contoh do’a sesudah makan dan minum adalah sebagai berikut ini:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ أَكَلَ طَعَامًافَقَالَ “الْحَمْدُلِلَّهِ الَّذِي أَطْعَمَنِي هَذَا وَرَزَقَنِيْهِ مِنْ غَيْرِ حَوْلِ مِنِّي وَلاَ قُوَّةٍ” غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barangsiapa memakan makanan dan dia mengatakan “Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini, dan memberiku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku.” Maka akan diampuni dosanya.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ غَيْرَ مَكْفِيٍّ وَلاَ مُوَدَّعٍ وَلاَ مُسْتَغْنًى عَنْهُ رَبُّنَا

“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan berkah. Dia tidak membutuhkan pemberian makanan (karena Dia yang memberi makanan), tidak ditinggalkan dan tidak membutuhkan makanan itu ya Rabb kami.” {HR. Al Bukhari, Tirmidzi dengan lafadznya}

Apakah ada do’a yang lain yang bisa dibaca setelah makan?. Jawabnya ada do’a selain ini dan boleh dibaca selama do’a tersebut benar datangnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Do’a-do’a penutup tersebut merupakan bentuk syukur dan sebagai bentuk mengingat keutamaan Allah subhanahu wata’ala dan rizki-Nya kepada kita.

7. Membasuh tangan sebelum tidur

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ نَامَ وَفِي يَدِهِ غُمَرٌ وَلَمْ يَغْسِلْهُ فَأَصَابَهُ شَيْءٌ فَلاَ يَلُومَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ

“Barangsiapa tertidur dan ditangannya terdapat lemak (kotoran bekas makan) dan dia belum mencucinya lalu dia tertimpa oleh sesuatu, maka janganlah dia mencela melainkan dirinya sendiri.”{HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih}

Sumber: www.darussalaf.or.idwww.assalafy.org

Rabu, 23 Agustus 2017

Keutamaan Bakti Kepada Orang Tua
Apa keutamaan birrul walidain?
Sahabat Tashfiyah semoga Allah merahmati kita semua. Birrul walidain memiliki banyak keutamaan dan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Di antara keutamaannya, birrul walidain adalah wasiat Allah Rabbul ’alamin.

Allah subhanahu wata’ala berfirman yang artinya, “Dan Kami wasiatkan (perintahkan) kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya.” [Q.S. Luqman: 14]

Birrul walidain adalah sifat kaum mukminin, bahkan inilah sifat para Nabi dan Rasul.

Coba perhatikan bagaimana Allah kisahkan Nabi Yahya bin Zakariya, Allah menyanjungnya dengan sifat ini. Allah berfirman yang artinya, “Dan (Yahya) banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka.” [Q.S. Maryam: 14]

Demikian pula Isa bin Maryam ‘alaihis salam. Beliau sosok Rasul yang sangat berbakti pada Ibundanya, Maryam. Allah berfirman mengisahkan ucapan Isa, “Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku…” [Q.S. Maryam: 31-32]

Tidak kalah hebatnya dari dua keutamaan di atas, Birrul walidain adalah sebab keridhaan Allah subhanahu wata’ala.

Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رِضَا اللهِ فِي رِضَى الْوَالِدَيْنِ

“Ridha Allah tergantung kepada ridha orang tua.” [H.R. Tirmidzi. Dari Abdullah Ibnu ‘Amr al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma Hadits ini shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim].

Betapa bahagianya ketika seorang telah meraih ridha Allah. Sungguh segala kebaikan dunia dan akherat akan dia gapai, dengan keridhaan Allah.

Di antara keutamaan lainnya, birrul walidain adalah amalan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebutkan sebelum jihad fi sabilillah.

Ya, lebih utama dari jihad fi sabilillah. Ibnu Mas’ud z mengatakan -sebagaimana dalam riwayat Shahih Al-Bukhari dan Muslim-, “Aku bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Amalan apakah yang paling utama?’ Beliau mengatakan, ‘Shalat pada waktunya.’ Aku bertanya kembali, ‘Kemudian apa setelahnya?’ Beliau menjawab, ‘Birrul walidain.’ lalu aku bertanya, ‘Kemudian apa lagi wahai Rasulullah?’ Beliau mengatakan, ‘Jihad fi sabilillah.’”

Allahu akbar!!

Di antara keutamaannya, birrul walidain adalah pintu yang sangat lebar bagi seseorang untuk masuk ke dalam surga.

 Dan sungguh kerugian yang besar manakala seorang sempat menjumpai kedua orangtuanya dan berkesempatan berbakti kepada keduanya atau salah seorang dari keduanya namun ia tidak mampu meraih surga.

Sebagaimana Jibril pernah berdoa, “Celaka seseorang yang mendapatkan kedua orang tuanya atau salah satu keduanya di masa tua namun dia tidak bisa masuk dalam surga.” Rasulullah n kemudian mengaminkan doa Jibril.

Birrul walidain sangat banyak keutamaannya, sehingga tidak heran ketika Allah subhanahu wata’ala menyebutkan hak kedua orang tua beriringan dengan hak Allah subhanahu wata’ala. Seperti dalam firman-Nya yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” [Q.S. Al Isra : 23]

Demikian pula dalam firman-Nya yang artinya, “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.” [Q.S. An Nisa: 36].

Tidak lupa, di antara keutamaan birrul walidain, Allah akan mudahkan urusannya dan dimudahkan mendapatan jalan keluar di saat problematika menimpa.

Dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim Rasulullah n pernah mengabarkan sebuah kisah tentang tiga orang Bani Israil yang terperangkap dalam sebuah gua. Salah seorang di antara mereka adalah seorang yang sangat berbakti kepada kedua orang tua. Di saat kesempitan, ia pun berdoa kepada-Nya. Doanya terkabul dengan sebab birrul walidain, Allah bantu mereka di kala sempit. Allah geser batu besar yang menutup mulut gua. Bukti-bukti nyata dalam kehidupan banyak kita jumpai. Allah muliakan mereka yang berbakti kepada kedua orang tua, sebaliknya Allah timpakan kejelekan bagi mereka yang durhaka kepada keduanya.

Saudara, mampukah kita berbakti kepada kedua orang tua? semoga Allah senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita. Amin.

[Al Ustadz Rijal bin Isnaini, Lc]


Sumber: Tashfiyah

Senin, 21 Agustus 2017

FATWA-FATWA SEPUTAR IDUL ADHA' (KURBAN)


Para pembaca yang budiman, berikut ini fatwa-fatwa seputar Idul Kurban yang penting diketahui oleh kaum muslimin, terkhusus bagi saudara-saudara yang hendak berkurban. Fatwa-fatwa tersebut kami sajikan dalam bentuk soal-jawab agar lebih menyentuh masing-masing permasalahan. Wallahul muwaffiq.
Soal: Apa saja yang dilarang bagi orang yang hendak berkurban?

Jawab: Disyari’atkan bagi orang yang hendak berkurban ketika telah muncul hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) agar tidak memotong rambut, kuku, dan kulitnya sampai binatang kurbannya disembelih. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Apabila kalian telah melihat hilal bulan Dzulhijjah (tanggal 1 Dzulhijjah) sedangkan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka hendaknya ia menahan diri dari memotong rambut dan kukunya.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain:
“Apabila telah masuk sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan salah seorang diantara kalian hendak berkurban, maka janganlah ia memotong rambut dan kulitnya sedikitpun.” (HR. Muslim)

Larangan ini hanya berlaku bagi orang yang akan berkurban, dan tidak berlaku bagi keluarganya, baik yang menyembelih sendiri atau yang mewakilkan kepada orang lain. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 2194)

Soal: Apa saja syarat-syarat hewan kurban?

Jawab: Syarat-syarat hewan kurban ada empat;
Syarat pertama: hewan kurban harus dari jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Syarat kedua: hewan kurban telah mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”

Syarat ketiga: hewan kurban tersebut selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)

Keempat cacat tersebut menghalangi keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya, tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang kesulitan dalam melahirkan anak -kecuali bila melahirkan dengan selamat-. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan kurban.

Syarat yang keempat: Penyembelihan hewan kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah-red). Batas waktunya selama 4 (empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.” Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah untuk menyembelih-red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia menyembelih diluar waktunya. Jadi syarat-syarat penyembelihan hewan kurban adalah sebagai berikut:
1. dari jenis binatang ternak (yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk menyembelih dengannya-red), yaitu unta, sapi, dan kambing.
2. telah mencapai umur yang ditetapkan syari’at: yaitu mencapai usia musinnah yaitu 5 tahun untuk unta, 2 tahun untuk sapi, dan 1 tahun untuk kambing kacang/jawa (ma’iz); atau usia jadza’ah (6 bulan) untuk domba.
3. selamat dari empat cacat yang telah disebutkan di atas.
4. dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Adapun yang lebih mencocoki syari’at dalam masalah jumlah hewan yang akan dikurbankan adalah tidak berlebihan jumlahnya. Sebagaimana telah dicontohkan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dan para salafush shalih, seorang muslim berkurban untuk dirinya sendiri, dan keluarganya dengan satu hewan kurban. Namun pada masa ini, seorang istri datang kepada suaminya seraya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, kemudian datang putrinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, lalu datang saudarinya mengatakan: “Aku ingin berkurban”, sehingga dalam sebuah rumah tersebut terkumpul beberapa kurban. Hal ini menyelisihi apa yang telah dilakukan para salafush shalih. Sungguh, manusia termulia, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, tidaklah berkurban kecuali dengan satu hewan kurban untuk dirinya dan keluarganya. Padahal, sebagaimana yang telah diketahui, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam memiliki sembilan istri (yang berarti beliau juga memiliki sembilan rumah). Bersamaan dengan itu, tidaklah beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban kecuali dengan satu hewan kurban, untuknya dan keluarganya. Dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berkurban satu lagi untuk ummatnya. (Lihat Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Liqo` Al-Bab Al- Maftuh)

Soal: Apa perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad pada hari Idul Fitri dan Idul Adha? Kapan dimulainya dan kapan berakhirnya? Tolong beri kami penjelasan! Semoga Allah membalas kebaikanmu.

Jawab: Perbedaan antara takbir mutlak dan takbir muqayyad ialah, bahwa takbir mutlak dilakukan pada setiap waktu, sedangkan takbir muqayyad dilakukan setiap selesai dari shalat lima waktu pada hari raya Idul Adha saja. Takbir mutlak pada hari raya Idul Adha dimulai semenjak masuk bulan Dzulhijjah sampai akhir hari tasyrik yaitu pada hari ketiga setelah Id. Adapun pada hari raya Idul Fitri semenjak masuk bulan Syawwal sampai ditegakkannya shalat Idul Fitri. Takbir muqayyad sebagaimana dikatakan para ulama, dilakukan setelah selesai shalat fajar (subuh) pada hari ‘Arafah sampai berakhirnya hari-hari tasyrik. (Ditulis pada tanggal 2 Dzulhijjah 1415H. Lihat Majmu’ Fatawa wa Rasa`il Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al- ‘Utsaimin no. 5831)

Soal: Siapakah yang berhak untuk diberi daging hewan kurban, dan apa hukumnya memberikan daging kurban kepada orang yang menyembelihkan hewan kurban tersebut? Bagaimana hukumnya menunda pembagian daging kurban (bukan pada hari disembelihnya hewan kurban tersebut)?

Jawab: Orang yang berkurban hendaklah memakan sebagian dari hasil sembelihannya. Sebagian dari hasil sembelihannya yang lain hendaknya diberikan kepada orang-orang fakir miskin agar mereka dapat menutupi kebutuhan pada hari itu. Juga kepada karib kerabat sebagai perwujudan silaturrahim (menyambung tali persaudaraan). Kemudian kepada tetangga agar timbul kerukunan dalam bertetangga dan saling tolong menolong. Serta kepada teman-teman untuk mempererat dan memperkuat tali persaudaraan sesama muslim. Bersegera dalam memberikan hasil sembelihan di hari raya Idul Adha lebih baik dibanding menundanya sampai hari kedua dan setelahnya. Karena yang demikian dapat melegakan, dan memberikan kegembiraan kepada mereka di hari itu. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah ‘Azza wa Jalla
وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
: “Bersegeralah menuju ampunan dari Rabb kalian dan (bersegera) menuju surga yang seluas langit dan bumi.” (Ali Imron: 133).
Juga firman-Nya
فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ
(yang artinya): “Maka bergegaslah melakukan kebaikan.” (Al- Baqarah: 148)

Tidak mengapa memberikan daging hasil sembelihan pada orang yang menyembelihkan hewan kurban, namun jangan diniatkan sebagai imbalan untuknya. Jika ingin memberi imbalan, maka hendaknya diberi dari selain daging hasil sesembelihan. Wa billahit taufiq. (Lihat Fatawa Lajnah Da’imah no. 5612)

Wallahu ta’ala a’lam bish showab
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=534
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=552)


Para Pembaca rahimakumullah, edisi kali ini merupakan kelanjutan dari edisi sebelumnya dengan judul Fatwa-fatwa Seputar Idul Kurban. Kami angkat beberapa permasalahan penting terkait dengan beberapa jenis ibadah yang bisa diamalkan di bulan Dzulhijjah. Selamat menyimak dan semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.

Soal: Apa hukum berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan Dzulhijjah?

Jawab: Puasa pada hari-hari tersebut adalah sunnah (mustahab), karena Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menganjurkan dan mendorong umatnya untuk melakukan amalan-amalan sholih pada hari-hari tersebut, dan puasa termasuk bagian dari amalan-amalan sholih. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Tidak ada hari-hari dimana amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada sepuluh hari (pertama) bulan Dzulhijjah.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, bukan pula jihad di jalan Allah? Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Bukan pula jihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah-red) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali darinya (jiwa dan hartanya) sedikitpun.” (HR. Al-Bukhari no. 969, dan At-Tirmidzi no. 757)

Walaupun dahulu Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak sering berpuasa pada hari-hari tersebut. Telah diriwayatkan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut karena kekhawatiran beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam akan dianggap wajib oleh umatnya. Diriwayatkan pula bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut. Akan tetapi, yang lebih utama menjadi patokan adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, karena sabda beliau lebih didahulukan daripada perbuatan. Jika terkumpul antara perkataan dan perbuatan, maka keduanya saling menguatkan. Oleh karena itu, perkataan terhitung sebagai dalil tersendiri, perbuatan sebagai dalil tersendiri, dan taqrir (persetujuan) pun sebagai dalil tersendiri. Yang paling utama dan paling kuat sebagai hujjah (dalil) adalah perkataan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, kemudian perbuatan beliau, dan setelahnya persetujuan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidak ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih Allah cintai daripada hari-hari ini, yakni sepuluh hari (pertama bulan Dzulhijjah).” (HR. Al-Bukhari no. 926, At-Tirmidzi no.757, Abu Dawud no. 2438, Ibnu Majah no. 1727, Ahmad 1/224, dan Ad-Darimi no. 1773)

Apabila seseorang berpuasa atau bershadaqah pada hari-hari tersebut, ia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Disyari’atkan pula pada hari-hari tersebut untuk memperbanyak takbir (Allahu Akbar), tahmid (Alhamdulillah), dan tahlil (Laa ilaha illallah), dengan dalil sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Tidak ada hari-hari yang lebih besar di sisi Allah, dan lebih dicintai-Nya dengan melakukan amalan-amalan sholih didalamnya daripada sepuluh hari (awal bulan Dzulhijjah) ini. Oleh karenanya, perbanyaklah untuk bertahlil, bertakbir, dan bertahmid.” (HR. Ahmad 2/75)

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Baz 14/419)
Hukum-hukum Sholat Dua Hari Raya

Soal: Apabila seorang makmum tertinggal satu rakaat pada sholat Id, apakah wajib untuk bertakbir beberapa kali sebagaimana takbirnya imam sebelum membaca Al-Fatihah ataukah tidak?

Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id atau sholat Istisqo` (meminta hujan), maka disukai (mustahab/sunnah) baginya untuk menggantinya (mengqodho`) sebagaimana tata cara sholat Id dilakukan. Jika tertinggal seluruhnya, maka hendaknya ia mengganti (mengqodho`) sholat seluruhnya sebagaimana tata cara sholat Id, termasuk diantaranya melakukan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram. Demikian juga bila ia terlewat sebagiannya, seperti tertinggal rakaat pertama misalnya, maka hendaknya ia tetap sholat mengikuti imam sampai imam tersebut mengucapkan salam. Setelah itu, barulah ia menyempurnakan sholatnya sesuai jumlah rakaat yang ia tertinggal, dan dilakukan sebagaimana tata cara sholat Id, yaitu dengan melakukan takbir-takbir setelah takbiratul ihram. Hal ini karena tata cara qodho` sholat Id (secara sendirian) seperti tata cara ketika menunaikannya (secara berjamaah). Wallahu a’lam. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 143)

Soal: Apa hukum orang yang tertinggal sholat Idul Fitri atau Idul Adha? Apakah ia menggantinya (qodho`) sebagaimana tata cara sholat Id atau cukup dengan melakukan sholat 2 (dua) rakaat saja atau apa yang mesti ia dilakukan? Kami mohon fatwanya. Jazakumullohu khoiron (Semoga Allah membalas kebaikan Anda).

Jawab: Barangsiapa yang tertinggal sholat Id, maka boleh meng-qodho`-nya (menggantinya) dengan sholat 2 (dua) rakaat, yang ia bertakbir dengan takbir-takbir tambahan setelah takbiratul ihram pada rakaat yang pertama, serta setelah takbir untuk berdiri dari sujud pada rakaat yang kedua. Juga dengan mengeraskan bacaan sholat, baik ia sholat sendirian, maupun berjama’ah. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan 144)

Soal: Apakah kita boleh berpuasa dua hari dalam rangka puasa hari Arafah, karena kami mendengar di radio bahwasanya hari Arafah jatuh besok bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah di tempat kami?

Jawab: Hari Arafah adalah hari dimana para jama’ah haji melakukan wukuf di padang Arafah. Disyariatkan untuk berpuasa pada waktu itu bagi seorang muslim yang tidak sedang melaksanakan ibadah haji. Oleh karena itu, apabila anda ingin berpuasa, maka hendaklah anda berpuasa pada hari tersebut. Dan bila anda telah berpuasa sehari sebelum hari tersebut, maka tidak mengapa. Dan jika anda telah berpuasa sembilan hari mulai dari awal bulan Dzulhijjah, maka hal itu adalah baik. Hal ini dikarenakan hari-hari tersebut adalah hari-hari yang mulia yang berpuasa pada hari-hari tersebut disunnahkan. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

“Tidaklah ada hari-hari yang amalan sholih didalamnya lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala daripada sepuluh hari (di awal bulan Dzulhijjah) ini.” Dikatakan: “Wahai Rasulullah, bukan jihad di jalan Allah (yang lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala)? Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:

“Bukan jihad di jalan Allah. Melainkan (bila ada) seseorang yang keluar (untuk berjihad di jalan Allah) dengan jiwa dan hartanya, kemudian tidak kembali dari itu semua sedikitpun.” (HR. Ahmad 1/224 no.338, Al-Bukhari no. 969, Abu Dawud no. 2438, At-Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan yang selainnya)
Wa billahit taufiq wa shollallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa aalihi wa shohbihi wa sallam. (Lihat Soal Pertama dari Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah no. 4052)

Soal: Aku mendapati pada kitab Zadul Ma’ad karya Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah pernyataan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu biasa melaksanakan puasa pada ayyaamul bidh, yaitu hari ke-13, 14, dan 15 pada setiap bulan hijriyah. Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar (berpergian jauh) ataupun ketika sedang bermukim (tidak dalam keadaan safar). Namun, pada tempat lain (dalam kitab tersebut -red) aku mendapati pernyataan bahwa hari-hari tasyriq adalah hari-hari yang diharamkan untuk berpuasa padanya. Padahal kita mengetahui bahwa akhir dari hari tasyriq adalah tanggal 13 (termasuk salah satu dari ayyaamul bidh yang Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam berpuasa padanya-pen). Maka bagaimana kita menggabungkan kedua pernyataan ini?

Jawab: Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menghasung dan menganjurkan (umatnya) agar berpuasa selama 3 (tiga) hari pada setiap bulannya, baik (3 hari tersebut-pen) di awal bulan, pertengahan bulan, atau di akhir bulan. Namun, yang paling utama, 3 (tiga) hari tersebut adalah pada ayyaamul bidh yang bertepatan dengan tanggal 13, 14, dan 15 pada tiap bulan hijriyah. Hari-hari tersebut adalah yang paling utama -untuk berpuasa sunnah padanya-. Walaupun tidak mengapa apabila seseorang berpuasa selain pada hari-hari tersebut, dan ia sudah termasuk menunaikan syariat yang insya Allah akan mendapatkan pahala.

Adapun hari-hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, maka telah terdapat dalil tentang pengharaman puasa pada hari-hari tersebut. Hal tersebut dikarenakan hari tasyriq masih merupakan hari raya dan hari-hari untuk (merayakan hari raya dengan) makan, minum, dan berdzikir kepada Allah. Sehingga puasa pada hari-hari tersebut diharamkan, kecuali bagi seseorang yang tidak mampu membayar denda karena telah melaksanakan Haji yang Tamattu’ atau Qiron, maka ia wajib untuk berpuasa selama tiga hari ketika masih melaksanakan haji, walaupun hari-hari tersebut bertepatan dengan hari-hari tasyriq. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam melarang berpuasa pada hari-hari tasyriq, kecuali bagi orang yang tidak mampu membayar denda pada Haji Tamattu’ atau Qiron. Oleh karena itu, hal ini menjadi sebuah kekhususan yang dikhususkan dari keumuman larangan puasa. Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak berpuasa pada hari-hari tersebut termasuk ketika bertepatan dengan ayyaamul bidh. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 228)

Soal: Apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada hari-hari putih (ayyaamul bidh) yang bertepatan dengan hari tasyriq?

Jawab: Yang bertepatan dengan hari tasyriq adalah hari ke-13 bulan Dzulhijjah, dikarenakan hari-hari putih (ayyaamul bidh) itu diawali pada tanggal 13 pada setiap bulannya, dan berakhir pada tanggal 15, maka tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk berpuasa pada tanggal 13 Dzulhijjah, dikarenakan hari tersebut termasuk hari tasyriq. Rasul n telah melarang atau mengharamkan puasa bagi seseorang kecuali bagi yang wajib membayar denda pada Haji Tamattu’ dan Qiron.

Adapun yang disunnahkan adalah puasa tiga hari pada setiap bulannya. Tiga hari tersebut tidak ditentukan atau diharuskan pada hari-hari putih. Hanya saja Rasulullah n menjadikan puasa tersebut paling afdhol dikerjakan pada hari-hari putih. Apabila hari tersebut tidak bertepatan dengan sebuah kenangan seperti pada keadaan tadi. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 229)

Soal: Berkaitan dengan ayyaamul bidh, apakah benar bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam samasekali tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari tersebut, baik ketika beliau safar ataupun tinggal (mukim)? Atau apakah puasa tersebut hanyalah puasa sunnah?

Jawab: Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam dahulu senantiasa melakukan puasa sunnah. Bahkan beliau selalu berusaha memperbanyak puasa (sunnah). Beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam -dikarenakan seringnya berpuasa- sampai-sampai dikatakan tidak pernah berbuka (berpuasa terus-menerus). Namun, beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga berbuka atau tidak berpuasa sampai-sampai dikatakan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam tidak atau jarang pernah berpuasa. Oleh karena itu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa memperbanyak puasa sunnah, baik ketika beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam safar ataupun mukim. Namun, apabila dikatakan bahwa beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam senantiasa berpuasa ayyamul bidh, maka aku tidak mengetahui keterangan tentangnya sampai sekarang ini sedikitpun. (Lihat Al-Muntaqo min Fatawa Al-Fauzan no. 230)

Wallahu a’lam bishshowab.
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=536
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=555)

Sumber: Salafy